Pengabdian Hasifah, Guru di Daerah Terpencil Pulau Sebuku, Lampung Selatan
Setiap
2 Mei selalu diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Sebuah pengingat bahwa guru adalah pahlawan bagi negeri ini. Karenanya,
ironis ketika melihat pendidik di daerah terpencil masih banyak yang
belum sejahtera.
Seperti Hasifah, yang mengajar pendidikan agama Islam (PAI) di SDN
Pulau Sebuku, Lamsel, dengan taruhan nyawa. Dia gigih mendidik siswa
tanpa fasilitas memadai, mengarungi lautan hanya untuk mencerdaskan anak
bangsa.
Lantaran kemarin (1/5) adalah hari libur nasional, Hasifah pulang ke
rumahnya di Jl. Pesisir Canggung, Rajabasa, Lamsel, untuk berkumpul
bersama keluarga. Libur menjadi hal yang berharga bagi dirinya.
Maklum, setiap minggu pukul 11.00 WIB, ia harus berangkat menyeberangi
lautan menggunakan cukung (sejenis perahu) untuk dapat mengajar pada
esok harinya. Lalu, kembali pulang Sabtu.
’’Ya lumayan jauh sih. Kalau naik cukung sekitar 1 jam dan lamanya
bisa empat jam ketika gelombang tinggi. Tapi demi sebuah pengabdian
untuk pendidikan, rasa capek itu tidak pernah dirasakan,’’ ucap
perempuan kelahiran Canggung, 15 Januari 1967, itu.
Dia menjadi guru honor sejak 1988 di SDN Canggung. Sampai pada Juli
2012, dia mendengar ada SD negeri di Pulau Sebeku. Nuraninya terpanggil
untuk mengabdi sehingga lulusan STIT Agus Salim, Metro, itu melamar ke
sana.
SD tersebut memiliki 33 murid di kelas 1–5 dengan tujuh orang
pendidik. Di antaranya, Kepala Sekolah Suhami, Kamah, Salamah yang PNS,
serta dibantu Gita Lestari dan Hamnah honorer murni.
Ia tak pernah mengeluh, meski honor yang diterima hanya Rp200 ribu per
triwulan dari BOS. Padahal, gaji guru terpencil dari APBD Lamsel adalah
Rp500 ribu per bulan dan gaji guru terpencil dari pusat dianggarkan
Rp1,5 juta per bulan.
’’Saya tidak pernah menghitung itu. Yang terpenting bagi saya
bagaimana bisa berbagi ilmu sehingga anak didik bisa pintar,’’
tuturnya. ’’Biarlah Allah SWT yang mencukupkan rezeki saya,’’ lanjutnya.
Dia juga ikhlas kehilangan anak bungsunya, Rizkia Pitaningrum (3,5),
pada 25 Oktober 2013. Gadis cilik itu sakit lantaran kelelahan
keseringan dibawa mengajar mengarungi lautan. ’’Ya, anak saya meninggal
tahun lalu,’’ lirihnya.
Kini, berkat keikhlasannya mendidik, istri Edi Sampurno itu lulus
honorer kategori dua (K-2). Allah SWT membalas keikhlasannya dengan
memberinya hadiah menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
Sumber : Radar Lampung
Post a Comment