Kozo Nagayama, Master Opera Jepang yang Praktikkan Filosofi dari Toilet
Sakai - Kozo Nagayama (40), adalah seorang master Noh,
opera klasik Jepang dari abad ke-14. Kozo membagikan filosofi mengenai
Noh, kesenian yang digelutinya sejak berusia 3 tahun. Ternyata, Kozo
mempraktikkan filosofi itu dari hal yang sederhana, menjaga kebersihan
di toilet.
"Secara filosofis, Noh ini banyak berkaitan dengan Zen dalam paham agama Buddha," kata Kozo saat menemui para jurnalis Asean Sakai Week 2013 di Kuil Takakuraji, Sakai, Jepang pada Rabu (6/11/2013) lalu.
Sebagai seniman Noh, Kozo mengatakan yang paling sulit
adalah mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Menjalani kehidupan
yang baik dan penuh keindahan itu, menurutnya penting, agar dirinya
bisa tampil di atas panggung dengan baik pula."Secara filosofis, Noh ini banyak berkaitan dengan Zen dalam paham agama Buddha," kata Kozo saat menemui para jurnalis Asean Sakai Week 2013 di Kuil Takakuraji, Sakai, Jepang pada Rabu (6/11/2013) lalu.
"Kalau hidup dengan baik, bisa tampil dengan baik pula. Untuk hidup dengan baik yang penting adalah menjaga kebersihan. Seperti menjaga kebersihan toilet, itu penting supaya bisa hidup baik," tutur Kozo serius.
Kozo lantas menceritakan bahwa dirinya mempelajari kesenian ini secara turun temurun dari leluhurnya sejak 650 tahun lalu. Awalnya ada 26 orang yang membentuk komunitas dan sanggar untuk memainkan opera Noh ini. Mereka menurunkan keahlian dengan melatih anak-anaknya. Sanggar juga menjadi bercabang-cabang, salah satunya sanggar Kanze di mana dia belajar Noh dan kini mengajarkannya kembali.
Kendati demikian, Kozo dengan rendah hati menolak bila dibilang menjadi master Noh. "Saya belum menjadi master karena saya sampai sekarang ini juga masih belajar. Yang kepala master itu ada, yang usianya 80 tahun, spiritualnya sudah sangat tinggi," ujar Kozo merendah.
Menjalani hidup sebagai seniman Noh karena keturunan, Kozo tidak merasa terpaksa karena memikul kewajiban melestarikan kesenian dan kebudayaan ini. Hal itu dijalaninya dengan sepenuh hati. Lantas bagaimana dia bisa bertahan hidup dari kesenian ini? "Saya biasanya tampil dalam festival-festival dan itu dibayar. Kalau tidak begitu, saya tidak makan," kata Kozo.
Kozo juga mengajar kursus warga biasa yang ingin belajar Noh dan tentu
saja, dia mendapatkan penghasilan dari situ. Salah satunya, Kozo
mengajar Noh di Kuil Takakuraji ini sebagai tempat latihan seminggu
sekali.
Sebagaimana orang tuanya dulu mengajari dirinya kesenian ini sejak berusia 3 tahun, Kozo mengatakan sudah menjadi kewajibannya mendidik anaknya berkesenian ini sejak dini. Anak Kozo perempuan, sementara kesenian ini dilakoni mayoritas oleh laki-laki.
"Dulu perempuan memang sangat dibedakan sekali, tidak boleh tampil. Namun akhir-akhir ini sudah mulai ada kelompok perempuan yang bermain Noh," jelas Kozo.
Lantas, bagaimana bila putrinya tak mau meneruskan kesenian ini? "Sebagai orang tua, kami wajib melestarikan tradisi. Jadi saya mengajari anak saya, harus. Kalau dia tidak mau, ya..saya harus menerimanya," tutup Kozo.
Sebagaimana orang tuanya dulu mengajari dirinya kesenian ini sejak berusia 3 tahun, Kozo mengatakan sudah menjadi kewajibannya mendidik anaknya berkesenian ini sejak dini. Anak Kozo perempuan, sementara kesenian ini dilakoni mayoritas oleh laki-laki.
"Dulu perempuan memang sangat dibedakan sekali, tidak boleh tampil. Namun akhir-akhir ini sudah mulai ada kelompok perempuan yang bermain Noh," jelas Kozo.
Lantas, bagaimana bila putrinya tak mau meneruskan kesenian ini? "Sebagai orang tua, kami wajib melestarikan tradisi. Jadi saya mengajari anak saya, harus. Kalau dia tidak mau, ya..saya harus menerimanya," tutup Kozo.
Post a Comment