Makam Raden Intan
1. Lokasi Makam Raden Intan
Dengan gugurnya Radin Intan II oleh pemerintah ia diangkat sebagai
pahlawan nasional. Benteng dan Makam Radin Intan II terletak di Desa
Gedungharta, Kelurahan Cempaka Kecamatan Penengahan, Kabupaten Lampung
Selatan.
Apabila akan mengunjungi tempat ini pengunjung dapat menuju ke
Komplek Makam Radin Intan II yang berjarak 75 km dari Kota
Tanjungkarang, dan 167 km dari Bakauheni. Lokasinyapun mudah dijangkau
dengan semua jenis kendaraan, sebab berada di pinggir jalan yang memakan
area 3.750 m² yang terdiri dari makam, taman, benteng, dan rumah
informasi. Semasa hidupnya Radin Intan II mendirikan benteng-benteng
yang pada umumnya berupa benteng alam berbentuk gundukan tanah dan
parit-parit buatan.
Saat ini Benteng-benteng tersebut sebagian telah
hilang dan tidak ditemukan sisa-sisanya. Sedangkan benteng pertahanan
yang masih tersisa adalah benteng pertahanan Radin Intan II di Cempaka
Desa Kahuripan Kecamatan Penengahan Kabupaten Lampung Selatan.
Pada
benteng ini didalamnya terdapat makam Radin Intan II. Saat ini, benteng
dan makam telah dijadikan sebagai makam pahlawan dan juga objek wisata
sejarah yang diharapkan dapat menarik pengunjung. Adapun para pengunjung
yang datang kebanyakan dari masyarakat Lampung dan bertujuan untuk
berziarah ke Makam Radin Intan II.
2. Sejarah Singkat Makam Raden Intan
Radin Intan II Gelar Kesuma Ratu (1834-1856) masih merupakan
keturunan Fatahillah dari perkawinannya dengan Putri Sinar Alam dari
keturunan Pugung dan dikenal sebagai pemimpin yang gigih menentang
penjajahan Belanda.
Gunung Rajabasa yang sarat dengan bekas peninggalan
benteng dan kubu pertahanan perang adalah saksi bisu kepahlawanan Radin
Intan II. Makamnya
terletak di desa Gedung Harta, dikenal dengan nama Benteng Cempaka, sekitar 18 km dari kota Kalianda, ibukota kabupaten Lampung Selatan.
terletak di desa Gedung Harta, dikenal dengan nama Benteng Cempaka, sekitar 18 km dari kota Kalianda, ibukota kabupaten Lampung Selatan.
Bila kita mengingat-ingat masa lalu mengenai bentuk pemerintahan di
Indonesia sekitar abad 15-an, Indonesia masih menganut sistem kerajaan.
Radin Intan II adalah salah satu pahlawan nasional dari Propinsi
Lampung.
Dahulu ia adalah pejuang yang memimpin perlawanan rakyat
Lampung ketika melawan penjajahan Belanda.
Atas jasa dan pengorbanannya
dalam membela kepentingan rakyat, oleh pemerintah dijadikan sebagai
pahlawan nasional, dan dibuatlah monumen di sekitar lokasi makamnya.
Radin Intan II sebenarnya putra dari Raden Imba II, sedangkan Raden Imba
II adalah putra dari Radin Intan. Apabila dilihat dari silsilahnya
Radin Intan I adalah keturunan dari Fatahillah yang merupakan anak dari
Ratu Darah Putih dan Tun Penatih.
Dia adalah pemimpin Keratuan Darah
Putih di Lampung. Sedangkan Raden Imba II adalah keturunan Fatahillah
anak dari Ratu Darah Putih dan Tun Penatih yang menikah dengan Ratu Mas.
Sedangkan Radin Intan II adalah satu keturunan dari Fatahillah yang
menyebarkan agama Islam di Banten sekitar abad XVI. Radin Intan II
dikenal sebagai pejuang dalam menentang penjajahan Belanda di Lampung
dan gugur sebagai pahlawan. Ia adalah putra dari Raden Imba II, beliau
dipelihara dan dibesarkan oleh ibu dan keluarganya dengan penuh rahasia.
Ia lahir di hutan tahun 1831. Ketika Benteng Raja Gepei jatuh ke
pemerintahan Belanda tahun 1834, ia berusia 3 tahun. Saat kecil Radin
Intan II diliputi suasana perang melawan Belanda dan sekutu-sekutunya.
Raden Intan II meninggal saat usia masih muda di saat ia belum menikah,
sehingga tidak mempunyai keturunan lagi.
Perlawanan Radin Intan terhadap penjajahan Belanda, pertama dilakukan oleh Radin Intan I. Raden Intan I (1751-1828), adalah penguasa Keratuan Darah Putih atau Negara Ratu yang berpusat di Kahuripan. Daerah ini sekarang termasuk wilayah Kecamatan Penengahan Kabupaten Lampung Selatan.
Raden Imba II yang mewarisi tahta sebagai Ratu di Lampung ternyata
juga mewarisi sifat-sifat ayahnya yaitu anti terhadap penjajahan
Belanda, dan berusaha untuk melawannya.
Sikap anti terhadap penjajahan
Belanda tersebut juga mendapat dukungan dari ayah mertuanya yaitu Kiai
Arya Natabraja dan Kepala Marga Teratas Batin Mangundang, serta rakyat
daerah Semangka. Semasa Raden Imba II menjabat sebagai Ratu Lampung, ia
mempunyai hubungan ke luar istana yang sangat luas, yaitu menjalin
hubungan persahabatan dengan kesultanan Lingga yang diwujudkan dengan
perkawinan saudara perempuannya dengan Sultan Lingga, disamping itu
Raden Imba II juga menjalin persahabatan dengan pelaut Bugis dan Sulu.
Dengan jalinan persahabatan yang dibina Raden Imba dengan beberapa
wilayah di luar Lampung, membuat kekhawatiran di pihak tentara Belanda,
sebab dikhawatirkan Raden Imba II menjalin suatu kekuatan untuk
menyerang Belanda. Ternyata dugaan Belanda tersebut benar, Raden Imba II
melakukan penyerangan di Teluk Lampung.
Dengan bantuan rakyat setempat,
Raden Imba II berhasil mengalahkan pasukan Belanda di dekat Kampung
Muton. Serangan yang dilakukan Raden Imba II ini berakibat buruk, sebab
petinggi pemerintah Belanda menderita kerugian, sehingga Asisten Residen
Belanda untuk Lampung yaitu J.A. Dubois meminta bantuan bala tentaranya
dari Batavia, untuk segera mengirim bantuannya guna memadamkan
perlawanan Raden Imba II. Bala bantuan pun datang dengan kekuatan lima
buah Kapal Alexander dan Dourga, 300 serdadu Belanda, serta 100 serdadu
Bugis. Bala bantuan tersebut dibawah pimpinan Kapten Hoffman dan Letda
Kobold. Pasukan Belanda ini mendarat di Kalianda tanggal 8 Agustus 1832.
Pasukan Belanda juga menuju Kampung Kesugihan dan Negara Putih, tapi
sayang tempat tersebut sudah ditinggalkan oleh Raden Imba II. Untuk
melampiaskan kekesalannya, Belanda membakar semua rumah yang ada di
kampung tersebut.
Raden Imba II yang mengetahui kejadian tersebut langsung membangun
kubu pertahanan yang tersebar di beberapa daerah, seperti di Raja Gepeh,
Pari, Bedulu, Huwi Perak, Merambung, Katimbang, dan Sakti. Agar tidak
kehabisan bahan makanan, Raden Imba II juga membangun lumbung-lumbung
persedian makanan, begitu pula untuk mengimbangi kekuatan Belanda, Raden
Imba II menambah senjata, dengan cara melakukan barter dengan Inggris
yang berkuasa di Bengkulu. Pertempuran melawan Belanda pun kembali
terjadi tanggal 9 September 1832 di daerah Gunung Tanggamus. Dalam
pertempuran tersebut, pasukan Belanda dibawah pimpinan Kapten Hoffman.
Benteng Raja Gepei yang selama ini dijadikan tempat persembunyian
Raden Imba II, oleh Belanda berhasil dihancurkan dan diduduki, namun
Raden Imba II dan mertuanya Kyai Arya Natabraja berhasil meloloskan
diri. Selanjutnya Raden Imba dan beberapa pasukannya menyingkir ke
Kesultanan Lingga sekaligus minta perlindungan. Namun sayang tempat
persembunyiannyapun diketahui oleh Belanda. Raja Lingga akhirnya
mendapat tekanan dari Belanda, yang isinya apabila tidak menyerahkan
Raden Imba II, Kerajaan Lingga akan mendapat serangan dari Belanda.
Akhirnya Raden Lingga pun menyerahkan Raden Imba II meskipun dengan
terpaksa.
Dengan diserahkannya Raden Imba II dan beberapa pengikutnya ke
Belanda, maka mereka ditangkap dan dibawa ke Batavia. Pada saat di
Batavia itulah mertua Raden Imba II dan hulu balangnya Raden Mangunang
meninggal dunia. Sedangkan Raden Imba II dibuang ke Pulau Timor. Raden
Imba II pun akhirnya meninggal di Pulau Timor. Sedangkan istrinya yang
sedang hamil tua dipulangkan ke Lampung.
Istri Raden Imba yang telah hamil, beberapa waktu kemudian melahirkan
seorang laki-laki sebagai anak yatim, karena Raden Imba II telah
meninggal dunia. Anak tersebut diberi nama Radin Intan II. Ia meneruskan
jejak leluhurnya sebagai orang yang anti penjajahan.
Pada tahun 1850, Radin Intan II telah menginjak usia 15 tahun, karena
ia sebagai anak tunggal dari Raden Imba II, maka ia pun berhak
meneruskan tahta memimpin Keratuan Darah Putih di Lampung, sehingga ia
pun dilantik sebagai penguasa Negara Ratu tersebut. Ia mulai menata
segala sarana dan prasarana yang telah rusak akibat perlawanan ayahnya
terhadap Belanda. Di antaranya Radin Intan II memperbaiki benteng yang
rusak, dan iapun membangun kembali benteng-benteng baru di antaranya di
Galah Tanah, Pematang Sentok, Kahuripan, dan Salaitahunan. Semua benteng
tersebut dilengkapi dengan parit dan terowongan rahasia. Sedangkan
persenjataannya masih sangat sederhana untuk ukuran sekarang seperti
keris, badik, pedang, dan meriam besar dan kecil. Sedangkan pasukannya
dibagi menjadi unit-unit kecil yang terdiri atas 40 orang dengan
dipimpin oleh seorang komandan prajurit, begitu pula sarana lain juga
dipersiapkan seperti dapur umum atau pejunjongan (untuk menopang
pejuang). Pertahanan dipusatkan di Gunung Rajabasa, yang secara militer
letak gunung ini sangat strategis dalam menghadapi serangan lawan dari
manapun karena letaknya yang dikelilingi benteng-benteng pertahanan,
seperti sebelah barat dan utara terdapat Benteng Merabung, Galah Tanah,
Pematang Sentok, Katimbang, dan Salai Tabuhan. Sebelah timur terdapat
Benteng Bendulu dan Hawi Perak, sedangkan di kaki-kaki gunung terdapat
Benteng Raja Gepei Cempaka dan Kahuripan Lama.
Sepak terjang Radin Intan II hampir menyerupai ayahnya, yaitu menggalang persahabatan dengan beberapa tokoh penting seperti Singabranta, Wak Maas, dan Haji Wakhia, serta rakyat dari Marga Ratu dan Dataran. Tujuannya penggalangan tersebut adalah untuk meningkatkan kekuatan pasukan. Bagi Belanda, sepak terjang yang dilakukan oleh Radin Intan II ini dianggap membahayakan. Oleh sebab itu Belanda mengambil tindakan yaitu berupaya untuk membujuk dan melakukan diplomasi dengan Radin Intan II. Dengan syarat-syarat yang cukup menjanjikan, Belanda berusaha membujuk Radin Intan II agar menghindari permusuhannya dengan Belanda, dengan imbalan akan diberi pengampunan, ditawari biaya pendidikan, dan sebagainya.
Namun Radin Intan II menolak segala bujukan tersebut. Karena
tawaran Belanda ditolak, maka Belanda pun pada tahun 1851 mengirim
pasukan yang berkekuatan 400 serdadu yang langsung dipimpin oleh Kapten
Tuch. Pasukan Belanda pun langsung menyerang/menyerbu Benteng Merambung,
tetapi sayang penyerangan Belanda ini mengalami kegagalan. Dan
kemenangan ada di pihak Radin Intan II. Kemudian pada tahun 1853,
pemerintah Belanda kembali mengajukan suatu perdamaian yang isinya agar
Radin Intan II menghentikan penyerangan. Usulan perdamaian kali ini
diterima oleh Radin Intan II, dan Radin Intan II pun menghentikan suatu
peperangannya dengan Belanda sehingga suasana menjadi tenang. Namun
sayang suasana tenang itupun hanya berlangsung 2 tahun yaitu sampai
1855. Dan tahun 1856 Radin Intan II kembali melakukan penyerangan.
Bila diruntut dari perlawanan satu ke perlawanan berikutnya, baik
yang dilakukan oleh Radin Intan I, Raden Imba II, dan Radin Intan II,
ternyata pemerintah Belanda selalu dipihak yang kalah. Oleh karena
pemerintah Belanda ingin mengerahkan bala bantuannya sebanyak mungkin
yang diminta dari Batavia, yang tujuannya untuk menghentikan
perlawanannya di Keratuan Darah Putih Lampung. Pada tahun 1856, bala
bantuan dari Batavia tersebut benar-benar datang. Untuk bala bantuan
kali ini dibawah pimpinan Kolonel Walleson yang dibantu Mayor Nauta,
Mayor Van Oostade, dan Mayor AWP Weitzel. Bala bantuan ini/atau yang
disebut ekspedisi ini terdiri atas 9 buah kapal perang, 3 buah kapal
angkut peralatan, puluhan perahu mayung, dan jung dengan mengangkut
1.000 serdadu, dan 350 perwira, 12 meriam besar, serta 30 satuan zeni.
Dengan datangnya bala bantuan tersebut, pasukan Belanda mendarat untuk
merebut Pulau Sikepal (yaitu daerah Teluk Tanjung Tua), pada tanggal 10
Agustus 1856, dua hari kemudian pimpinan pasukan Belanda mengeluarkan
ultimatum kepada Radin Intan II dan pimpinan rakyat lainnya agar
menyerahkan diri dalam tempo 5 hari.
Dari Pulau Sikepal pasukan Walseson kemudian bersiap untuk menyerang Benteng Bendulu, penyerangan tersebut dilakukan pada tanggal 16 Agustus 1856 yaitu melalui daerah Ujau dan Kenali. Benteng Bendulu dapat dikuasai keesokan harinya tanpa perlawanan. Kemudian pasukan Belanda bergerak menuju Benteng Hawi Perak, sekitar pukul 8 pagi tanggal 18 Agustus 1856. Namun berita yang beredar, Benteng Bendulu telah direbut kembali oleh pasukan Radin Intan II. Dengan begitu Walleson dan pasukannya segera kembali berbalik arah ke Benteng Bendulu. Beteng Bendulu berhasil direbut kembali oleh Walleson dan selanjutnya dijadikan sebagai pangkalan (markas) pasukan Belanda dalam penyerbuan ke benteng-benteng pertahanan Radin Intan yang lain.
Dalam melakukan penyerangan terhadap benteng Katimbang, Walleson
memecah kekuatan pasukan menjadi tiga kelompok yang bergerak melalui
tiga arah yang berbeda;
1. pasukan pertama dipimpin langsung oleh Kolonel Walleson yang
bergerak dari pesisir selatan terus melingkar melalui lereng timur
Gunung Rajabasa ke arah utara.
2. pasukan kedua yang dipimpin oleh Mayor van Costade bergerak dari
pesisir selatan (Pulau Palubu, Kalianda, dan Way Urang) melingkar
melalui lereng sebelah barat dan utara menuju Kelau dan Kunyaian, untuk
merebut Benteng Merambung dan kemudian menuju Benteng Katimbang.
3. pasukan ketiga dipimpin oleh Mayor Nauta bergerak dari Penengahan
melalui hutan untuk merebut Benteng Salaitahunan dan akhirnya menuju
benteng Katimbang.
Keesokan harinya tanggal 19 Agustus 1856, pasukan Walleson berhasil
merebut Benteng Hawi Perak, namun karena sesuatu hal, yaitu cuaca buruk,
maka pasukan Walleson pun terpaksa balik kembali ke Bendulu. Sedangkan
Benteng Hawi Perak dibakar.
Setelah membakar benteng tersebut,
selanjutnya pasukan Walleson bergabung dengan pasukan Mayor van Costade
yang bergerak melalui lereng barat Rajabasa. Kemudian pada tanggal 27
Agustus 1856, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Walleson dan Van
Costade berhasil merebut Benteng Merambung, Galah tanah, dan Pematang
Sentok.
Benteng Merambung berhasil direbut pada pukul 7 pagi dan Benteng
Pematang Sentok direbut tanpa perlawanan. Pada saat merebut Benteng
Galah Tanah tersebut, pasukan Belanda mendapat perlawanan yang cukup
sengit, sebab pasukan Radin Intan II siap bertahan, dalam mempertahankan
benteng dengan senjata meriam dan ranjau darat.
Akan tetapi akhirnya
sekitar pukul 09.00 pagi Benteng Galah berhasil direbut pasukan Belanda.
Sementara itu pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Nauta dengan
susah payah berhasil merebut Benteng Salai Tahunan. Dengan dikuasainya
Benteng Galah dan Benteng Salai Tahunan, terbukalah jalan kearah Benteng
Katimbang.
Tanggal 27 Agustus 1856, Benteng Katimbang mulai diserang oleh
Belanda, sekitar pukul 12 siang. Alasan diserangnya benteng ini, karena
memiliki persediaan logistik yang cukup besar yang dipertahankan oleh
Raden Intan II dan pasukannya. Tetapi karena demi segi persenjataan yang
tidak seimbang itulah maka Benteng Katimbang berhasil direbut oleh
Belanda pada pukul 05.00 subuh.
Radin Intan dan kawan-kawannya seperti
Haji Makhia, Singa Branta, dan Wak Maas berhasil meloloskan diri. Dengan
larinya Radin Intan II dan beberapa temannya, pasukan Belanda berusahan
mengejarnya. Dengan pengejaran pasukan Belanda tersebut, maka Radin
Intan II melakukan gerilya untuk menghadapi pasukan Belanda. Akhirnya
pasukan Belanda pun dibuat jengkel oleh Raden Intan II. Oleh karena itu
untuk menangkap Radin Intan II di persembunyian, pasukan Belanda
melakukannya dengan berbagai cara yaitu menanyakan dimana keberadaan
Radin Intan kepada penduduk ataupun beberapa wanita, sehingga keberadaan
Radin Intan II pun dapat diketahui oleh Belanda, namun demikian Radin
Intan II tidak dapat ditangkap karena tempat persembunyian Raden Intan
selalu berpindah-pindah, yaitu dari tempat satu ke tempat lain.
Dengan kesulitan untuk menangkap Radin Intan tersebut, Belanda mulai
membabi buta yaitu melakukan cara-cara yang tidak pada tempatnya seperti
menangkap saudara atau orang-orang terdekatnya Radin Intan II seperti
istri, anak, menantu, maupun saudara-saudara teman seperjuangan Radin
Intan II. Kemudian pada tanggal 9 September 1856 bersamaan dengan
hukuman mati Kiai Wakhia, dan dalam pertempuran berikutnya Wak Maas
dibunuh oleh pasukan Belanda, dan lama-kelamaan Radin Intan II melakukan
perjuangan secara sendirian.
Karena Belanda masih kesulitan dalam menangkap Radin Intan II, maka
satu-satunya jalan Belanda melakukan tipu muslihat, yaitu dengan cara
meminjam orang Lampung sendiri. Pasukan Belanda berhasil membujuk Kepala
Kampung Tataan Udik yaitu Raden Ngarupat. Raden Ngarupat akhirnya
termakan bujukan Belanda, iapun melalukan perintah Belanda dalam
melakukan tipu muslihatnya. Caranya Raden Ngarupat mengundang Radin
Intan II untuk makan malam di rumahnya. Ketika Raden Ngarupat sedang
menghadapi hidangan, pasukan Belanda langsung menyergapnya. Radin Intan
II yang ditemani saudara sepupunya langsung memberikan perlawanan. Namun
sayang dengan kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya Radin Intan II
gugur.
Radin Intan II Gelar Kesuma Ratu (1834-1856) masih merupakan
keturunan Fatahillah dari perkawinannya dengan Putri Sinar Alam dari
keturunan Pugung dan dikenal sebagai pemimpin yang gigih menentang
penjajahan Belanda. Gunung Rajabasa yang sarat dengan bekas peninggalan
benteng dan kubu pertahanan perang adalah saksi bisu kepahlawanan Radin
Intan II. Makamnya terletak di desa Gedung Harta, dikenal dengan nama
Benteng Cempaka, sekitar 18 km dari kota Kalianda, ibukota kabupaten
Lampung Selatan.
Bila kita mengingat-ingat masa lalu mengenai bentuk pemerintahan di
Indonesia sekitar abad 15-an, Indonesia masih menganut sistem kerajaan.
Di wilayah Indonesia yang sekarang terdiri atas ribuan pulau tersebut,
terdapat beberapa kerajaan. Misal-nya di Pulau Jawa terdapat Ke-rajaan
Mataram, Kerajaan Sunda, Kerajaan Majapahit. Di Pulau Kalimantan
terdapat Kerajaan Kutai, begitu pula di Pulau Sumatra, terdapat Kerajaan
Jambi dan Lampung.
Pada tahun 1596, Belanda mulai datang ke Indonesia (AH. Nasution,
1973: 30). Awalnya kedatangan Belanda tersebut hanya berdagang dan
pulang ke negerinya membawa rempah-rempah, kebetulan waktu itu potensi
Indonesia sebagai tempat yang kaya akan rempah-rempah. Sebelum
kedatangan Belanda tersebut, di Indonesia terlebih dahulu telah datang
bangsa-bangsa Eropa lainnya seperti Portugis, Inggris, maupun Perancis.
Kedatangan bangsa-bangsa Eropa tersebut bertujuan sama, yaitu mencari
rempah-rempah, sehingga terjadilah persaingan dagang di antara mereka.
Untuk meng-antisipasi agar Belanda tidak kehabisan rempah-rempah,
didirikanlah VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie, atau yang dikenal
dengan kumpeni). Persekutuan ini melakukan monopoli di mana-mana. Badan
ini selain untuk melindungi para pedagang Belanda, juga untuk menghadapi
persaingan dengan para pedagang Inggris yang tergabung dalam East India
Company (EIC). Selain itu VOC mempunyai hak-hak khusus, seperti,
monopoli untuk berdagang di wilayah antara Amerika dan Afrika, membentuk
angkatan perang sendiri, mengadakan peperangan, mendirikan benteng,
bahkan menjajah. Karena bangsa-bangsa Eropa mempunyai niat untuk mencari
rempah-rempah, maka VOC melakukan jalan pintas yaitu penguasaan wilayah
Indonesia. Tindakan Belanda tersebut sangat merugikan rakyat Indonesia,
sehingga perlawanan terhadap Belanda pun tidak dapat dihindari.
Perlawanan terjadi hampir di semua wilayah secara sporadis. Karena waktu
itu sistem perlawanan masih bersifat kedaerahan, dan waktu perlawanan
antara daerah satu dan daerah lain, tidak bersamaan, maka Belanda pun
dengan mudah menghadapinya. Salah satu perlawanan itu terjadi di
Lampung. Untuk mengetahui bagaimana bentuk perlawanan terhadap
penjajahan Belanda di daerah Lampung, kami akan menulis mengenai
Perlawanan Radin Intan dan Raden Imba terhadap penjajahan Belanda di
Propinsi Lampung (1825-1860), Tujuannya adalah untuk mengetahui lebih
jauh bagaimana perjuangan Radin Intan dan Raden Imba dalam melawan
penjajahan Belanda.
Radin Intan II adalah salah satu pahlawan nasional dari Propinsi
Lampung. Dahulu ia adalah pejuang yang memimpin perlawanan rakyat
Lampung ketika melawan penjajahan Belanda. Atas jasa dan pengorbanannya
dalam membela kepentingan rakyat, oleh pemerintah dijadikan sebagai
pahlawan nasional, dan dibuatlah monumen di sekitar lokasi makamnya.
Radin Intan II sebenarnya putra dari Raden Imba II, sedangkan Raden Imba
II adalah putra dari Radin Intan. Apabila dilihat dari silsilahnya
Radin Intan I adalah keturunan dari Fatahillah yang merupakan anak dari
Ratu Darah Putih dan Tun Penatih. Dia adalah pemimpin Keratuan Darah
Putih di Lampung. Sedangkan Raden Imba II adalah keturunan Fatahillah
anak dari Ratu Darah Putih dan Tun Penatih yang menikah dengan Ratu Mas.
Sedangkan Radin Intan II adalah satu keturunan dari Fatahillah yang
menyebarkan agama Islam di Banten sekitar abad XVI. Radin Intan II
dikenal sebagai pejuang dalam menentang penjajahan Belanda di Lampung
dan gugur sebagai pahlawan. Ia adalah putra dari Raden Imba II, beliau
dipelihara dan dibesarkan oleh ibu dan keluarganya dengan penuh rahasia.
Ia lahir di hutan tahun 1831. Ketika Benteng Raja Gepei jatuh ke
pemerintahan Belanda tahun 1834, ia berusia 3 tahun. Saat kecil Radin
Intan II diliputi suasana perang melawan Belanda dan sekutu-sekutunya.
Raden Intan II meninggal saat usia masih muda di saat ia belum menikah,
sehingga tidak mempunyai keturunan lagi.
Perlawanan Radin Intan Dan Raden Imba Terhadap Penjajahan Belanda
Sebelum kedatangan Belanda ke Lampung, Lampung merupakan salah satu daerah yang mendapat pengaruh kekuasaan dari Banten, hal itu disebabkan Lampung waktu itu, kaya akan rempah-rempah. Namun di saat kedatangan Belanda, secara perlahan Lampung dapat dikuasai oleh Belanda. Kedatangan Belanda ke Indonesia, tujuan utama adalah berdagang sambil mencari rempah-rempah.
Sebelum kedatangan Belanda ke Lampung, Lampung merupakan salah satu daerah yang mendapat pengaruh kekuasaan dari Banten, hal itu disebabkan Lampung waktu itu, kaya akan rempah-rempah. Namun di saat kedatangan Belanda, secara perlahan Lampung dapat dikuasai oleh Belanda. Kedatangan Belanda ke Indonesia, tujuan utama adalah berdagang sambil mencari rempah-rempah.
Perlawanan Radin Intan terhadap penjajahan Belanda, pertama dilakukan
oleh Radin Intan I. Raden Intan I (1751-1828), adalah penguasa Keratuan
Darah Putih atau Negara Ratu yang berpusat di Kahuripan. Daerah ini
sekarang termasuk wilayah Kecamatan Penengahan Kabupaten Lampung
Selatan. Bagi Belanda Radin Intan I dianggap sebagai orang yang keras
kepala, ia tidak mau menuruti apa perintah Belanda, bahkan iapun
cenderung untuk melawan dari segala kebijakan yang dibuat pemerintah
Belanda, seperti monopoli perdagangan lada. Bagi Belanda sikap dan
tindakan yang dilakukan Radin Intan I tersebut semakin lama semakin
menjengkelkan.
Meskipun demikian dibalik sikap Radin Intan I yang keras
kepala tersebut, Belanda tetap memperlakukan Radin Intan I dengan sifat
yang lunak. Sikap lunak sengaja diperlakukan oleh pemerintah Belanda
(khususnya Gubernur Jenderal Belanda, H.W. Daendels), sebab Daendels
mengakui kepemimpinan Raden Intan I sebagai penguasa di Lampung.
Disamping itu, perlakukan lunak Belanda khususnya Daendels tersebut
didasarkan atas perhatian Belanda yang terpecah, dikarenakan perhatian
Belanda lebih tercurah pada persiapan untuk menghadapi ancaman pasukan
Inggris. Selanjutnya pada kwartal I abad 19 ini, Belanda juga harus
menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1825-1830).
Dengan ketidak mampuan Daendels dalam mendekati Radin Intan I tersebut,
akhirnya Radin Intan I mengambil langkah-langkah yang bagi Belanda
sangat membahayakan, seperti menjalin hubungan persahabatan dengan Daeng
Gajah dari Tulang Bawang dan Seputih. Raden Intan pun sengaja
melepaskan diri dari ikatan Belanda. Dengan tindakan yang diambil Raden
Intan ini, menandakan bahwa Radin Intan I dianggap oleh Belanda sebagai
pemberontak dan akan melakukan suatu pemberontakan.
Dengan adanya
kekhawatiran tersebut, akhirnya fihak Belanda mengadakan perundingan
dengan Radin Intan I yang isinya :
1. Radin Intan I bersedia mengakiri kekerasan dan membantu pemerintah Belanda.
2. Raden Intan I akan diakui kedudukannya, sebagaimana pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels.
3. Radin Intan I mendapat pensiun sebesar f.1200 per tahun dan saudara-saudaranya masing-masing sebesar f.600 per tahun.
Dari isi perundingan tersebut, pemerintah Belanda memberikan
janji-janji kepada Radin Intan I, sehingga terciptalah suasana damai.
Namun suasana damai tersebut, ternyata tidak memakan waktu lama, karena
hubungan antara pemerintah Belanda dengan Radin Intan I kembali
meruncing. Sebab-sebab meruncingnya hubungan kedua belah pihak tersebut
dikarenakan Pemerintah Belanda secara sepihak melanggar kesepakatan
damai dan dengan terang-terangan menempuh jalan kekerasan. Pada awal
bulan Desember 1825 pemerintah Belanda mengirim utusan untuk menangkap
Radin Intan I, dengan cara mengirim Gezaghebber Lelievre di Telukbetung
bersama Letnan Misonius. Kedatangan kedua orang Belanda tersebut
dilengkapi dengan 35 serdadu dan 7 opas, bergerak menuju Negara Ratu.
Awalnya Radin Intan I menerima dengan baik kedatangan kedua orang
Belanda tersebut, dan Radin Intan pun bersedia dibawa ke Teluk Betung,
tetapi dengan syarat Radin Intan meminta waktu 2 hari dikarenakan sedang
sakit. Tatkala kedua orang Belanda tersebut sedang istirahat di Negara
Ratu, tiba-tiba diserang oleh pasukan Radin Intan I tanggal 13 Desember
1825, dan orang-orang Belanda pun berhasil dilumpuhkan. Korban tewas
menimpa Lelievre bersama seorang sersan, sedangkan Letnan Misonius luka
tertembak. Dengan kekalahan Belanda ini maka untuk sementara keadaan di
Lampung kembali tenang, sebab Belanda mulai mencurahkan kekuatannya
untuk menghadapi penyerangan Pangeran Diponegoro. Tiga tahun kemudian
Radin Intan I jatuh sakit hingga meninggal dunia, sedangkan tahta
sebagai pemimpin di Keratuan Darah Putih diwariskan kepada putranya
yaitu Raden Imba II.
Raden Imba II yang mewarisi tahta sebagai Ratu di Lampung ternyata
juga mewarisi sifat-sifat ayahnya yaitu anti terhadap penjajahan
Belanda, dan berusaha untuk melawannya. Sikap anti terhadap penjajahan
Belanda tersebut juga mendapat dukungan dari ayah mertuanya yaitu Kiai
Arya Natabraja dan Kepala Marga Teratas Batin Mangundang, serta rakyat
daerah Semangka. Semasa Raden Imba II menjabat sebagai Ratu Lampung, ia
mempunyai hubungan ke luar istana yang sangat luas, yaitu menjalin
hubungan persahabatan dengan kesultanan Lingga yang diwujudkan dengan
perkawinan saudara perempuannya dengan Sultan Lingga, disamping itu
Raden Imba II juga menjalin persahabatan dengan pelaut Bugis dan Sulu.
Dengan jalinan persahabatan yang dibina Raden Imba dengan beberapa
wilayah di luar Lampung, membuat kekhawatiran di pihak tentara Belanda,
sebab dikhawatirkan Raden Imba II menjalin suatu kekuatan untuk
menyerang Belanda. Ternyata dugaan Belanda tersebut benar, Raden Imba II
melakukan penyerangan di Teluk Lampung.
Dengan bantuan rakyat setempat,
Raden Imba II berhasil mengalahkan pasukan Belanda di dekat Kampung
Muton. Serangan yang dilakukan Raden Imba II ini berakibat buruk, sebab
petinggi pemerintah Belanda menderita kerugian, sehingga Asisten Residen
Belanda untuk Lampung yaitu J.A. Dubois meminta bantuan bala tentaranya
dari Batavia, untuk segera mengirim bantuannya guna memadamkan
perlawanan Raden Imba II. Bala bantuan pun datang dengan kekuatan lima
buah Kapal Alexander dan Dourga, 300 serdadu Belanda, serta 100 serdadu
Bugis. Bala bantuan tersebut dibawah pimpinan Kapten Hoffman dan Letda
Kobold. Pasukan Belanda ini mendarat di Kalianda tanggal 8 Agustus 1832.
Pasukan Belanda juga menuju Kampung Kesugihan dan Negara Putih, tapi
sayang tempat tersebut sudah ditinggalkan oleh Raden Imba II. Untuk
melampiaskan kekesalannya, Belanda membakar semua rumah yang ada di
kampung tersebut.
Raden Imba II yang mengetahui kejadian tersebut langsung membangun
kubu pertahanan yang tersebar di beberapa daerah, seperti di Raja Gepeh,
Pari, Bedulu, Huwi Perak, Merambung, Katimbang, dan Sakti. Agar tidak
kehabisan bahan makanan, Raden Imba II juga membangun lumbung-lumbung
persedian makanan, begitu pula untuk mengimbangi kekuatan Belanda, Raden
Imba II menambah senjata, dengan cara melakukan barter dengan Inggris
yang berkuasa di Bengkulu. Pertempuran melawan Belanda pun kembali
terjadi tanggal 9 September 1832 di daerah Gunung Tanggamus. Dalam
pertempuran tersebut, pasukan Belanda dibawah pimpinan Kapten Hoffman.
Namun dalam perlawanan melawan Belanda kali ini pasukan Raden Imba II
kembali mengalami kemenangan. Dari pasukan Belanda banyak yang tewas,
sedangkan Kapten Hoofman mengalami luka-luka. Dengan kekalahan tersebut,
akhirnya pasukan Belanda ditarik mundur.
Dengan ditariknya pasukan Belanda dari daerah Gunung Tanggamus
tersebut, bukan berarti pasukan Belanda menerima kekalahan. Artinya
justru pasukan Belanda membangun kekuatan untuk membalas kekalahannya
terhadap Raden Imba II. Kapten Hoffman untuk kedua kalinya memimpin
penyerangan terhadap Raden Imba II. Kali ini Kapten Hofman mengerahkan
kekuatan yang lebih besar, yaitu ditemani oleh 600 serdadu Belanda yang
direkrut dari pasukan yang telah berpengalaman dalam melawan Pangeran
Diponegoro. Kapten Hoffman juga mendapat bantuan pasukan dari Letnan
Vicq de Cumtich. Pertempuran kali ini dapat dikatakan pertempuran besar
yang terjadi di Benteng Raja Gepei. sebab dari keduanya mengalami
kerugian yang sangat besar, yaitu pasukan Raden Imba II kehilangan 100
pasukannya, sedangan pasukan Belanda hanya 65 orang termasuk Letnan
Neuenborger dan Letan Huiseman. Namun demikian Raden Imba II masih dapat
berhasil memimpin pasukannya untuk mempertahankan Benteng Raja Gepei.
Begitu pula pasukan Belanda masih tertahan dan mendapat bantuan pasukan
dibawah pimpinan Kapten Beldhouder dan Kapten Pouwer. Namun kedua kapten
tersebut tewas.
Beberapa kali kekalahan yang dialami oleh pasukan Belanda dalam
menghadapi setiap perlawanan, bagi Belanda menjadikan suatu cambuk untuk
mengirimkan bala bantuan yang lebih besar, begitu pula yang dialami
Belanda dalam menghadapi beberapa kali perlawanan yang dilakukan oleh
Raden Imba II. Tanggal 23 September 1834, pemerintah Belanda di Batavia
kembali mengirimkan bantuan dalam jumlah yang besar, yaitu 21 opsir
(perwira), dan 800 serdadu istimewa yang dilengkapi dengan meriam besar,
bantuan tersebut dibawah pimpinan Kolonel Elout. Benteng Raja Gepei
yang selama ini dijadikan tempat persembunyian Raden Imba II, oleh
Belanda berhasil dihancurkan dan diduduki, namun Raden Imba II dan
mertuanya Kyai Arya Natabraja berhasil meloloskan diri. Selanjutnya
Raden Imba dan beberapa pasukannya menyingkir ke Kesultanan Lingga
sekaligus minta perlindungan. Namun sayang tempat persembunyiannyapun
diketahui oleh Belanda. Raja Lingga akhirnya mendapat tekanan dari
Belanda, yang isinya apabila tidak menyerahkan Raden Imba II, Kerajaan
Lingga akan mendapat serangan dari Belanda. Akhirnya Raden Lingga pun
menyerahkan Raden Imba II meskipun dengan terpaksa.
Dengan diserahkannya Raden Imba II dan beberapa pengikutnya ke
Belanda, maka mereka ditangkap dan dibawa ke Batavia. Pada saat di
Batavia itulah mertua Raden Imba II dan hulu balangnya Raden Mangunang
meninggal dunia. Sedangkan Raden Imba II dibuang ke Pulau Timor. Raden
Imba II pun akhirnya meninggal di Pulau Timor. Sedangkan istrinya yang
sedang hamil tua dipulangkan ke Lampung.
Dengan meninggalnya Raden Imba II, maka kekuasaan Lampung berada
sepenuhnya di tangan Belanda. Selama itulah kurang lebih 15 tahun,
Lampung sepi dari pemberontakan. Istri Raden Imba yang telah hamil,
beberapa waktu kemudian melahirkan seorang laki-laki sebagai anak yatim,
karena Raden Imba II telah meninggal dunia. Anak tersebut diberi nama
Radin Intan II. Ia meneruskan jejak leluhurnya sebagai orang yang anti
penjajahan.
Pada tahun 1850, Radin Intan II telah menginjak usia 15 tahun, karena
ia sebagai anak tunggal dari Raden Imba II, maka ia pun berhak
meneruskan tahta memimpin Keratuan Darah Putih di Lampung, sehingga ia
pun dilantik sebagai penguasa Negara Ratu tersebut. Ia mulai menata
segala sarana dan prasarana yang telah rusak akibat perlawanan ayahnya
terhadap Belanda. Di antaranya Radin Intan II memperbaiki benteng yang
rusak, dan iapun membangun kembali benteng-benteng baru di antaranya di
Galah Tanah, Pematang Sentok, Kahuripan, dan Salaitahunan. Semua benteng
tersebut dilengkapi dengan parit dan terowongan rahasia. Sedangkan
persenjataannya masih sangat sederhana untuk ukuran sekarang seperti
keris, badik, pedang, dan meriam besar dan kecil. Sedangkan pasukannya
dibagi menjadi unit-unit kecil yang terdiri atas 40 orang dengan
dipimpin oleh seorang komandan prajurit, begitu pula sarana lain juga
dipersiapkan seperti dapur umum atau pejunjongan (untuk menopang
pejuang). Pertahanan dipusatkan di Gunung Rajabasa, yang secara militer
letak gunung ini sangat strategis dalam menghadapi serangan lawan dari
manapun karena letaknya yang dikelilingi benteng-benteng pertahanan,
seperti sebelah barat dan utara terdapat Benteng Merabung, Galah Tanah,
Pematang Sentok, Katimbang, dan Salai Tabuhan. Sebelah timur terdapat
Benteng Bendulu dan Hawi Perak, sedangkan di kaki-kaki gunung terdapat
Benteng Raja Gepei Cempaka dan Kahuripan Lama.
Sepak terjang Radin Intan II hampir menyerupai ayahnya, yaitu menggalang persahabatan dengan beberapa tokoh penting seperti Singabranta, Wak Maas, dan Haji Wakhia, serta rakyat dari Marga Ratu dan Dataran. Tujuannya penggalangan tersebut adalah untuk meningkatkan kekuatan pasukan. Bagi Belanda, sepak terjang yang dilakukan oleh Radin Intan II ini dianggap membahayakan. Oleh sebab itu Belanda mengambil tindakan yaitu berupaya untuk membujuk dan melakukan diplomasi dengan Radin Intan II. Dengan syarat-syarat yang cukup menjanjikan, Belanda berusaha membujuk Radin Intan II agar menghindari permusuhannya dengan Belanda, dengan imbalan akan diberi pengampunan, ditawari biaya pendidikan, dan sebagainya. Namun Radin Intan II menolak segala bujukan tersebut. Karena tawaran Belanda ditolak, maka Belanda pun pada tahun 1851 mengirim pasukan yang berkekuatan 400 serdadu yang langsung dipimpin oleh Kapten Tuch. Pasukan Belanda pun langsung menyerang/menyerbu Benteng Merambung, tetapi sayang penyerangan Belanda ini mengalami kegagalan. Dan kemenangan ada di pihak Radin Intan II. Kemudian pada tahun 1853, pemerintah Belanda kembali mengajukan suatu perdamaian yang isinya agar Radin Intan II menghentikan penyerangan. Usulan perdamaian kali ini diterima oleh Radin Intan II, dan Radin Intan II pun menghentikan suatu peperangannya dengan Belanda sehingga suasana menjadi tenang. Namun sayang suasana tenang itupun hanya berlangsung 2 tahun yaitu sampai 1855. Dan tahun 1856 Radin Intan II kembali melakukan penyerangan.
Bila diruntut dari perlawanan satu ke perlawanan berikutnya, baik
yang dilakukan oleh Radin Intan I, Raden Imba II, dan Radin Intan II,
ternyata pemerintah Belanda selalu dipihak yang kalah. Oleh karena
pemerintah Belanda ingin mengerahkan bala bantuannya sebanyak mungkin
yang diminta dari Batavia, yang tujuannya untuk menghentikan
perlawanannya di Keratuan Darah Putih Lampung. Pada tahun 1856, bala
bantuan dari Batavia tersebut benar-benar datang. Untuk bala bantuan
kali ini dibawah pimpinan Kolonel Walleson yang dibantu Mayor Nauta,
Mayor Van Oostade, dan Mayor AWP Weitzel. Bala bantuan ini/atau yang
disebut ekspedisi ini terdiri atas 9 buah kapal perang, 3 buah kapal
angkut peralatan, puluhan perahu mayung, dan jung dengan mengangkut
1.000 serdadu, dan 350 perwira, 12 meriam besar, serta 30 satuan zeni.
Dengan datangnya bala bantuan tersebut, pasukan Belanda mendarat untuk
merebut Pulau Sikepal (yaitu daerah Teluk Tanjung Tua), pada tanggal 10
Agustus 1856, dua hari kemudian pimpinan pasukan Belanda mengeluarkan
ultimatum kepada Radin Intan II dan pimpinan rakyat lainnya agar
menyerahkan diri dalam tempo 5 hari.
Dari Pulau Sikepal pasukan Walseson kemudian bersiap untuk menyerang Benteng Bendulu, penyerangan tersebut dilakukan pada tanggal 16 Agustus 1856 yaitu melalui daerah Ujau dan Kenali. Benteng Bendulu dapat dikuasai keesokan harinya tanpa perlawanan. Kemudian pasukan Belanda bergerak menuju Benteng Hawi Perak, sekitar pukul 8 pagi tanggal 18 Agustus 1856. Namun berita yang beredar, Benteng Bendulu telah direbut kembali oleh pasukan Radin Intan II. Dengan begitu Walleson dan pasukannya segera kembali berbalik arah ke Benteng Bendulu. Beteng Bendulu berhasil direbut kembali oleh Walleson dan selanjutnya dijadikan sebagai pangkalan (markas) pasukan Belanda dalam penyerbuan ke benteng-benteng pertahanan Radin Intan yang lain.
Dalam melakukan penyerangan terhadap benteng Katimbang, Walleson
memecah kekuatan pasukan menjadi tiga kelompok yang bergerak melalui
tiga arah yang berbeda :
1. pasukan pertama dipimpin langsung oleh Kolonel Walleson yang
bergerak dari pesisir selatan terus melingkar melalui lereng timur
Gunung Rajabasa ke arah utara.
2. pasukan kedua yang dipimpin oleh Mayor van Costade bergerak dari
pesisir selatan (Pulau Palubu, Kalianda, dan Way Urang) melingkar
melalui lereng sebelah barat dan utara menuju Kelau dan Kunyaian, untuk
merebut Benteng Merambung dan kemudian menuju Benteng Katimbang.
3. pasukan ketiga dipimpin oleh Mayor Nauta bergerak dari Penengahan
melalui hutan untuk merebut Benteng Salaitahunan dan akhirnya menuju
benteng Katimbang.
Keesokan harinya tanggal 19 Agustus 1856, pasukan Walleson berhasil
merebut Benteng Hawi Perak, namun karena sesuatu hal, yaitu cuaca buruk,
maka pasukan Walleson pun terpaksa balik kembali ke Bendulu. Sedangkan
Benteng Hawi Perak dibakar. Setelah membakar benteng tersebut,
selanjutnya pasukan Walleson bergabung dengan pasukan Mayor van Costade
yang bergerak melalui lereng barat Rajabasa. Kemudian pada tanggal 27
Agustus 1856, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Walleson dan Van
Costade berhasil merebut Benteng Merambung, Galah tanah, dan Pematang
Sentok. Benteng Merambung berhasil direbut pada pukul 7 pagi dan Benteng
Pematang Sentok direbut tanpa perlawanan. Pada saat merebut Benteng
Galah Tanah tersebut, pasukan Belanda mendapat perlawanan yang cukup
sengit, sebab pasukan Radin Intan II siap bertahan, dalam mempertahankan
benteng dengan senjata meriam dan ranjau darat. Akan tetapi akhirnya
sekitar pukul 09.00 pagi Benteng Galah berhasil direbut pasukan Belanda.
Sementara itu pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Nauta dengan
susah payah berhasil merebut Benteng Salai Tahunan. Dengan dikuasainya
Benteng Galah dan Benteng Salai Tahunan, terbukalah jalan kearah Benteng
Katimbang.
Tanggal 27 Agustus 1856, Benteng Katimbang mulai diserang oleh
Belanda, sekitar pukul 12 siang. Alasan diserangnya benteng ini, karena
memiliki persediaan logistik yang cukup besar yang dipertahankan oleh
Raden Intan II dan pasukannya. Tetapi karena demi segi persenjataan yang
tidak seimbang itulah maka Benteng Katimbang berhasil direbut oleh
Belanda pada pukul 05.00 subuh. Radin Intan dan kawan-kawannya seperti
Haji Makhia, Singa Branta, dan Wak Maas berhasil meloloskan diri. Dengan
larinya Radin Intan II dan beberapa temannya, pasukan Belanda berusahan
mengejarnya. Dengan pengejaran pasukan Belanda tersebut, maka Radin
Intan II melakukan gerilya untuk menghadapi pasukan Belanda. Akhirnya
pasukan Belanda pun dibuat jengkel oleh Raden Intan II. Oleh karena itu
untuk menangkap Radin Intan II di persembunyian, pasukan Belanda
melakukannya dengan berbagai cara yaitu menanyakan dimana keberadaan
Radin Intan kepada penduduk ataupun beberapa wanita, sehingga keberadaan
Radin Intan II pun dapat diketahui oleh Belanda, namun demikian Radin
Intan II tidak dapat ditangkap karena tempat persembunyian Raden Intan
selalu berpindah-pindah, yaitu dari tempat satu ke tempat lain.
Dengan kesulitan untuk menangkap Radin Intan tersebut, Belanda mulai
membabi buta yaitu melakukan cara-cara yang tidak pada tempatnya seperti
menangkap saudara atau orang-orang terdekatnya Radin Intan II seperti
istri, anak, menantu, maupun saudara-saudara teman seperjuangan Radin
Intan II. Kemudian pada tanggal 9 September 1856 bersamaan dengan
hukuman mati Kiai Wakhia, dan dalam pertempuran berikutnya Wak Maas
dibunuh oleh pasukan Belanda, dan lama-kelamaan Radin Intan II melakukan
perjuangan secara sendirian.
Karena Belanda masih kesulitan dalam menangkap Radin Intan II, maka
satu-satunya jalan Belanda melakukan tipu muslihat, yaitu dengan cara
meminjam orang Lampung sendiri. Pasukan Belanda berhasil membujuk Kepala
Kampung Tataan Udik yaitu Raden Ngarupat. Raden Ngarupat akhirnya
termakan bujukan Belanda, iapun melalukan perintah Belanda dalam
melakukan tipu muslihatnya. Caranya Raden Ngarupat mengundang Radin
Intan II untuk makan malam di rumahnya. Ketika Raden Ngarupat sedang
menghadapi hidangan, pasukan Belanda langsung menyergapnya. Radin Intan
II yang ditemani saudara sepupunya langsung memberikan perlawanan. Namun
sayang dengan kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya Radin Intan II di
tangkap dan di beri hukuman pasung.
3. Upaya Pelestarian Makam Raden Intan
Makam raden inten merupakan saksi bisu perjuangannya,dan kewajiban
kita untuk merawat dan melestarikannya. Makam adlah tempat
peristirahatan terakhir bagi seseorang jadi kita jangan mengkeramatkan
makam walaupun itu makam pahlawan kita,yang kita ambil dari situ adalah
semangat perjuangannya dan jasa beliau.b angsa yang besar adalah bangsa
yang memiliki sejarah dan budaya.
Jadi, siapa lagi yang akan mengenalkan pahlawan Lampung saat ini, kalau bukan kita sendiri. Dan, kita jangan pernah sekali-kali melupakan sejarah. Sebab, dari perjuangan para pahlawan itu, kita dapat menjadi bangsa yang besar seperti saat ini. Makam Raden Intan merupakan saksi bisu perjuangannya,dan kewajiban kita untuk melindungi, menjaga, merawat dan melestarikannya.
Post a Comment