GuidePedia

0
Asarpin - Mencintai Budaya Lampung lewat Karya

Karena kerinduannya dengan bahasa Lampung, Asarpin yang memiliki hobi menulis menuangkannya dalam bentuk tulisan. Ia sering menulis berbagai kisah dengan menggunakan bahasa lampung.

KEKAGUMAN akan adat-istiadat tempatnya lahir membuat Asarpin berusaha keras untuk tetap menjaga kekayaan Lampung. Meski budaya tersebut kini nyaris musnah bersama arus modernisasi, Asarpin telah menyumbangkan sebuah karya yang membuat semuanya menjadi abadi.

Terlahir dalam keluarga bersuku Lampung membuat Asarpin dapat merasakan kentalnya adat istiadat daerah berjuluk tanah lada ini. Negri Ngarip salah satu daerah di Kabupaten Tanggamus menjadi tempat kelahiran pria yang pernah mendapatkan anugerah Rancage atas karyanya yang dianggap turut melestarikan kebudayaan daerah.

Pria kelahiran 8 Januari 1975 ini mengaku terinspirasi dari apa yang dialaminya sejak kecil. Keluarganya yang memang bersuku asli Lampung sangat dekat dengan adat istiadat Lampung pada saat itu. Sejak kecil Asarpin terbiasa berbicara dengan bahasa lampung, baik kepada kedua orang tua, tetangga hingga teman.

Selain itu, desa tempat tinggalnya yang mayoritas berpenduduk asli masih sangat menjunjung nilai-nilai adat. Berbagai acara adat kerap diadakan secara meriah. Saat menginjak usia remaja, alumnus SMAN 1 Kotaagung ini juga turut aktif di berbagai kegiatan muda-mudi kampung.

Asarpin mengaku masa muda memang sangat menginspirasinya. Dalam setiap acara adat, dia bersama dengan muda-mudi kampung sering memeriahkan acara perkawinan ataupun acara pemberian adat lainnya dengan berbalas pantun berbahasa daerah.

"Di situlah keasyikannya. Para muda-mudi begitu bangga menggunakan bahasa daerahnya," ujar Asarpin ketika ditemui di kediamannya, kemarin (10/10).

Usai menamatkan sekolah, Asarpin memutuskan melanjutkan kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan Lampung. Meski bukan berasal dari keluarga berada, semangat Asarpin untuk menempuh pendidikan hingga bangku kuliah sangat kuat. Ayahnya adalah seorang petani kopi, sedangkan sang ibu beraktivitas sebagai pembuat kue khas Lampung.

Ia mengaku sangat kagum dengan kedua orang tuanya, terlebih kepada sang ibu. Sudah menjadi adat dalam tradisi Lampung pada saat itu, tugas wanita memang sangat mendominasi di banding pria. Sang ayah yang memang secara silsilah masih keturunan raja sangat dihormati di kampungnya, sehingga sang ayah memang lebih sering di rumah.

Sedangkan sang ibu seorang pekerja keras. Selain menerima pesanan kue, ibunya harus mencari kayu bakar, berkebun, dan mengasuh anak-anaknya.

Saat menempuh pendidikan di IAIN, Asarpin mengaku mulai sulit menemui budaya yang selama ini melekat dalam kehidupannya. Jangankan bisa menemui berbagai kegiatan adat, sekadar berkomunikasi dengan bahasa lampung pun semakin jarang dilakukannya. Hal ini karena memang sedikit orang di sekitarnya yang pandai bertutur dengan bahasa daerah.

Karena kerinduannya dengan bahasa lampung, Asarpin yang memiliki hobi menulis hanya dapat menuangkannya dalam bentuk tulisan. Ia sering menulis berbagai kisah dengan menggunakan bahasa lampung.

Saat menulis dengan bahasa Lampung, ia mengaku menemukan kepuasan dan dapat mengurangi kerinduannya dengan daerah asalnya dulu. "Kalo sedang menulis dengan bahasa lampung, saya bisa tertawa dan senyum-senyum sendiri," ujarnya yang kini telah memiliki tiga anak.

Dalam tulisan-tulisan Asarpin, kisah kehidupan pribadinya memang lebih mendominasi. Mulai dari kisah masa kecil yang dihabiskan di Teluk Semaka hingga kekaguman dengan para wanita Lampung yang dinilainya sangat pekerja keras.

Hingga pada 2009, Asarpin merangkum semua kisah kehidupannya tersebut dalam sebuah buku berbahasa Lampung bertajuk Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semoung (2009). Sebuah buku kumpulan cerita buntak (pendek) yang berisi tentang kearifan lokal daerah Lampung yang banyak diambil dari sebuah daerah tempat Asarpin dilahirkan.

Meski fasih berbicara berbahasa Lampung, suami Nur Milati ini mengaku banyak menemui kesulitan saat harus menuliskannya. Mulai dari minimnya kosakata hingga bahasa Lampung yang terkesan kaku harus dihadapinya.

Untuk itu, ia sering berkonsultasi dengan para sastrawan Lampung, seperti Udo Z. Karzi dan Irfan Anshori yang juga menjadi penyunting bukunya.

Meski berbentuk sebuah lembaran buku, Asarpin mengaku sangat bangga dapat menghasilkan karya tersebut. Karya yang muncul dari rasa kecintaan akan kampung halaman dan adat istiadat Lampung.

Prihatin Bahasa Lampung

Meskipun Lampung memiliki bahasa daerah, menurut Asarpin, bahasa Lampung tidak diminati oleh orang Lampung sendiri. Hal ini bisa dilihat dari makin minimnya orang yang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah Lampung.

"Orang-orang cendrung lebih suka menggunakan bahasa Indonesia yang memang menjadi bahasa nasional, walaupun berkomunikasi dengan sesama orang Lampung," ujar Asarpin.

Selain itu, pendidikan Bahasa Lampung yang diterapkan di bangku sekolah, menurut Asarpin, memang tidak akan efektif. Karena di sekolah meskipun ada mata pelajaran Muatan Lokal, Bahasa Daerah, siswa cenderung diajarkan sebatas tahu, tetapi tidak untuk mampu berkomunikasi.

Asarpin menilai di sekolah siswa hanya diajarkan berbagai kosakata hingga rumitnya aksara Lampung, tetapi siswa tidak diajarkan untuk aktif berkomunikasi dan berucap dengan menggunakan bahasa Lampung, baik dengan guru maupun dengan sesama teman.

Selain itu, mental masyarakat Lampung memang belum terbangun untuk bangga menggunakan bahasa ibu. Banyak masyarakat yang beranggapan bahasa daerah memang lebih terkesan ketinggalan zaman atau kurang modern. Jika sudah seperti ini, Asarpin pun mengaku tidak bisa menjamin bahasa Lampung akan tetap ada.

"Kalo sudah begini... Ini bukanlah tanggung jawab pemerintah, guru Bahasa Lampung ataupun sastrawan Lampung. Namun, kelestarian bahasa daerah Lampung adalah tanggung jawab semua orang Lampung," ujar dia. (S3)


BIODATA
Nama         : Asarpin
Lahir         : Negri Ngarip, 8 Januari 1975
Agama         : Islam
Nama Ayah     : Aslami
Nama Ibu     : Nuriah

Istri         : Nur Milati
Anak         :
1. Kayla Estetika
2. Talita Alina Meka
3. Alief Dani Munshi

Pendidikan
1. SDN 1 Ngarip
2. SMPN 1 Wonosobo
3. SMAN 1 Kotaagung
4. S-1 IAIN Raden Intan Lampung

Penghargaan
Buku kumpulan cerbun/cerpennya, Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuong (2009) meraih Hadiah Sastra Rancage 2010

Post a Comment

 
Top