Gamolan Pekhing, Gamelan Bambu dari Lampung Barat
Masyarakat adat di berbagai daerah di Indonesia memiliki instrumen musik
dari bambu dalam khazanah kebudayaan mereka. Bambu diyakini
menghasilkan bunyi-bunyian yang memberikan daya magis dalam musik yang
dihasilkan. Daya magis inilah yang dipercaya memberikan nuansa berbeda
dalam suatu ritual dalam masyarakat tersebut. Tak terkecuali Liwa,
Lampung Barat, yang memiliki instrumen musik Gamolan Pekhing atau
disebut juga Cetik. Instrumen ini terbuat dari bambu.
Sebagian pakar Antropologi meyakini gamelan di Jawa merupakan pengembangan dari gamolan yang dibawa bersama masuknya Sriwijaya pada dinasti Syailendra. Kedua instrumen ini memiliki kesamaan dalam bentuk, bahan yang digunakan yang berbeda. Namun, ada pula yang menyebutkan gamelan-lah yang menjadi inspirasi dibuatnya gamolan.
Gaung gamolan sempat meredup dan dilupakan oleh masyarakat Lampung. Sebelum dekade 1990-an, gamolan hanya digunakan dalam ritual adat dan upacara penyambutan tamu. Salah satu penyebab masyarakat melupakan instrumen bambu ini adalah karena tidak ada standar yang baku dalam hal penataan nada. Perkembangan alat musik ini amat terbatas hanya di kalangan seniman gamolan. Kenyataan ini mendorong inisiatif seniman gamolan, antara lain Syafril Yamin, untuk membakukan notasi atau tata nada dalam instrumen ini.
Saat ini, pengembangan gamolan sebagai salah satu instrumen musik khas dari Lampung semakin terlihat. Perhatian pemerintah daerah diwujudkan dengan masuknya kesenian gamolan dalam materi muatan lokal di sekolah-sekolah. Gamolan pun ikut mewarnai khazanah kesenian kontemporer melalui kolaborasi dengan instrumen-instrumen musik modern.
Gamolan menjadi salah satu identitas masyarakat Lampung yang ikut ditampilkan dalam perhelatan daerah seperti Festival Krakatau yang rutin diadakan setiap tahun.
Sebagian pakar Antropologi meyakini gamelan di Jawa merupakan pengembangan dari gamolan yang dibawa bersama masuknya Sriwijaya pada dinasti Syailendra. Kedua instrumen ini memiliki kesamaan dalam bentuk, bahan yang digunakan yang berbeda. Namun, ada pula yang menyebutkan gamelan-lah yang menjadi inspirasi dibuatnya gamolan.
Gaung gamolan sempat meredup dan dilupakan oleh masyarakat Lampung. Sebelum dekade 1990-an, gamolan hanya digunakan dalam ritual adat dan upacara penyambutan tamu. Salah satu penyebab masyarakat melupakan instrumen bambu ini adalah karena tidak ada standar yang baku dalam hal penataan nada. Perkembangan alat musik ini amat terbatas hanya di kalangan seniman gamolan. Kenyataan ini mendorong inisiatif seniman gamolan, antara lain Syafril Yamin, untuk membakukan notasi atau tata nada dalam instrumen ini.
Saat ini, pengembangan gamolan sebagai salah satu instrumen musik khas dari Lampung semakin terlihat. Perhatian pemerintah daerah diwujudkan dengan masuknya kesenian gamolan dalam materi muatan lokal di sekolah-sekolah. Gamolan pun ikut mewarnai khazanah kesenian kontemporer melalui kolaborasi dengan instrumen-instrumen musik modern.
Gamolan menjadi salah satu identitas masyarakat Lampung yang ikut ditampilkan dalam perhelatan daerah seperti Festival Krakatau yang rutin diadakan setiap tahun.
Post a Comment