Di Lampung, ada tradisi seni topeng. Tupping namanya. Seni topeng ini berkembang dari daerah Kalianda, Lampung Selatan. Tupping merupakan topeng kayu dengan berbagai ekspresi wajah dan karakter tokoh yang berbeda-beda. Karakter yang ditampilkan dalam tupping
antara lain karakter ksatria yang sakti, tetua yang bijaksana, kesatria
berwatak kasar, ksatria berwibawa, putri yang lemah gemulai, anak-anak
yang sedang bersedih, dan tokoh jenaka. Karakter topeng yang ditampilkan
disesuaikan dengan kisah yang ditampilkan dalam pertunjukan.
Pada masa lalu, keberadaan tupping dianggap memiliki nilai sakral yang tinggi. Karena itu, jumlah tupping di suatu daerah amat spesifik, tidak dapat ditambah, dikurangi, atau ditiru. Kesakralan tupping pun membuat tidak sembarang orang dapat mengenakan topeng ini. Di daerah Kuripan, misalnya. Tupping di daerah ini berjumlah 12 buah dan masing-masing hanya dapat digunakan oleh orang dari garis keturunan tertentu. Sementara, tupping dari daerah Canti (yang juga berjumlah 12 buah) hanya boleh digunakan oleh pemuda berusia 20 tahun.
Pada saat ini, oleh masyarakat Lampung, tupping
ditampilkan sebagai drama tari kepahlawanan. Drama ini biasa
ditampilkan antara lain dalam prosesi pernikahan adat Lampung. Cerita
yang diangkat biasanya mengisahkan kegigihan pasukan Radin Inten I
(1751-1828), Radin Imba II (1828-1834), dan Radin Inten II (1834-1856)
dalam melawan kolonial Belanda. Para tokoh ini dikenal sebagai pahlawan
kebanggaan masyarakat Lampung yang gigih mengobarkan semangat perlawanan
terhadap pasukan Belanda.
Post a Comment