Rosita Sihombing – Menulis Butuh Keberanian
KARYA fiksi menempati posisi unik di
ranah edukasi bangsa. Dengan mengapresiasi karya fiksi, manusia bisa
menjadi bijak sesuai pesannya. Terlebih karya-karya berlatar kisah
humanisme.
Lampung menjadi salah satu daerah yang cukup subur bagi pertumbuhan
karya fiksi. Berbagai novel, antologi puisi, dan karya sastra lain lahir
dari orang-orang yang tumbuh dari sini. Salah satunya Rosita Sihambing,
mantan jurnalis di Lampung yang saat ini tinggal di Paris, Prancis.
Bagaimana proses kreatif tulisan jenis ini hingga menjadi bahan
bacaan dan liku-liku ranah fiksi berlatar luar negeri? Simak wawancara
wartawan Lampung Post, Adian Saputra dan Rinda Mulyani, dengan Rosita Sihombing, Rabu (1-8), di kantor harian ini. Berikut petikan wawancaranya.
Bisa diceritakan awal Anda menulis di ranah fiksi?
Semua bermula saat saya masih kuliah di Universitas Lampung. Beberapa
teman mengajak aktif di kelompok seni di Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang
Seni (UKMBS). Dari sinilah kemudian ketertarikan saya terhadap dunia
menulis tumbuh.
Awalnya tidak fokus di fiksi, tetapi lebih banyak reportase. Saya
kemudian aktif menjadi reporter di media milik Rektorat Unila. Beberapa
teman yang mendukung saya agar aktif di sini. Kemudian di era blog,
Multiply, misalnya, saya mulai banyak menulis. Sampai kemudian bertemu
dengan komunitas di Forum Lingkar Pena (FLP), di antaranya Helvy Tiana
Rosa dan Asma Nadia, saya mulai menulis fiksi.
Ya awalnya tidak percaya diri, tetapi lambat laun karena didukung
terus oleh kawan-kawan di FLP, akhirnya jadilah saya banyak menulis
fiksi.
Hampir semua karya Anda berlatar Paris, kota di mana Anda
bermukim. Apakah di titik ini, Anda merasa sangat terbantu sehingga
cerita yang dibangun kuat dan menarik?
Jujur saya akui, Paris menjadi latar kota yang sangat mendukung
cerita yang saya bikin. Suasana Eropa ditambah dengan kondisi keislaman
di negara ini amat membantu saya dalam melahirkan karya sastra. Bahkan,
bisa dibilang, semua karya saya yang berlayar belakang Paris, tidak ada
yang ditolak penerbit. Apa pun karya saya, yang bercerita soal kehidupan
kaum muslim di Paris, menarik minat penerbit untuk memublikasikannya.
Ini yang barangkali tidak dirasakan oleh penulis lainnya. Jujur juga
saya akui, novel-novel saya sangat terbantu dengan minat pembaca yang
haus karya sastra keislaman dengan latar Eropa. Barangkali karena berbau
luar negeri, karya semacam ini mudah diterima oleh pembaca dan penerbit
merasa beruntung mendapatkan naskah semacam ini. Termasuk beberapa
artikel tentang kehidupan muslimah di Prancis yang diterbitkan media
massa. Meski tak banyak, saya juga tak mendapat banyak penolakan dari
redaksi media massa, alhamdulillah.
Jika ditantang untuk menulis novel dengan latar tempat yang sama
sekali belum pernah didatangi, apakah bisa Anda menulis sebagai novel
dengan latar Paris?Saya tidak tahu secara pasti. Tapi pada
prinsipnya, menulislah sesuai dengan passion yang kita punya. Minat kita
ada di mana. Kalau kita memang memfokuskan pada karya novel, kita pasti
berusaha menyajikan karya yang baik. Kalaupun kita menulis sesuatu yang
beberapa di antaranya kita tak paham, kita pasti mencari jawaban.
Membaca, bertanya kepada mereka yang lebih memahami, bisa kita lakukan.
Tegasnya, jika kita sudah berniat menulis, kelemahan yang bakal
mengganggu dalam melahirkan karya, pasti kita cari solusinya. Ini bukan
persoalan apakah kita bisa atau tidak, tapi apakah kita mau berusaha
atau tidak. Saya sekarang sedang menyusun novel dengan latar Paris dan
Lampung. Saya berharap ini juga menjadi karya yang baik. Jika ada bagian
tertentu yang tidak saya pahmi, tentu saya akan berupaya mencari
jawabannya. Bisa dengan mencari bahan di internet, observasi langsung,
atau bertanya kepada mereka yang lebih memahami.
Apa yang membuat Anda produktif dalam melahirkan karya?
Mungkin yang paling berpengaruh ialah tekad. Saya punya tekad bahwa
saya mesti bisa seperti penulis yang lebih dahulu punya nama dan
terkenal. Kalau mereka bisa, saya pasti bisa. Inilah yang barangkali
menjadi bahan bakar terbesar saya sehingga bisa produktif sampai dengan
sekarang. Menjadi penulis yang produktif itu juga mesti memiliki
komitmen dan konsistensi yang tinggi. Tanpa konsistensi, kita tak bakal
menjadi penulis yang baik. Saya bahkan kadang mengorbankan waktu
istirahat saya untuk menulis. Kadang jika ada naskah novel yang saya
kejar untuk cepat selesai, saya bekerja tanpa henti. Tidur pun acap saya
lewati demi naskah yang sudah saya targetkan rampung.
Dari sekian karya, mana yang menurut Anda paling menginspirasi pembaca?
Kalau dari saya pribadi, novel Luka di Champs Elysees. Mengapa?
Sebab, karena secara respons publik, inilah novel yang paling banyak
ditanggapi dan dibicarakan orang. Bahkan, ada penerbit yang bersedia
menerbitkan kembali novel ini dengan sedikit revisi. Ini saya kira yang
paling prestisius buat saya. Beberapa pembaca juga memberikan
komentarnya atas karya ini. Bahkan, ada pembaca yang demikian terharu
dengan kisah yang ada di novel ini. Beberapa di antara pembaca via
jejaring sosial juga menyebut karya saya yang ini cukup memberikan kesan
terhadap mereka. Barangkali mereka bisa mengambil pesan yang termaktub
dalam cerita yang saya tulis.
Apa obsesi terbesar Anda dalam dunia kepenulisan?
Saya ingin setiap tahun ada karya saya yang bisa diterbitkan, entah
itu novel atau nonfiksi. Buat saya, ini tidak muluk-muluk. Sebab, hanya
dengan cara seperti inilah saya bisa mengukur produktivitas dan
konsistensi saya dalam menulis. Omong kosong jika kita mau sukses
menjadi penulis atau novelis tanpa punya keinginan seperti ini. Target
yang semacam inilah yang akan membantu kita dalam melahirkan karya yang
makin lama akan makin berkualitas.
Bagaimana Anda melihat nasib penulis di Indonesia dilihat dari sisi penghasilan mereka dari royalti?
Penulis di Indonesia rata-rata tidak melulu berorientasi uang. Dengan
kisaran royalti yang 10 persen dari harga buku, memang sulit menjadikan
penulis di Indonesia sangat sejahtera. Kita bisa melihat dari mereka
yang sudah mapan, kehidupannya juga normal-normal saja, tidak lantas
berkecukupan, kaya raya begitu. Helvy, misalnya, juga relatif hidup
normal dan sederhana. Memang yang bagus penulisnya juga cukup aktif
menawarkan karya. Asma Nadia, misalnya, tidak malu-malu untuk
mempromosikan bukunya di setiap kesempatan dan lewat media sosial. Ini
bisa menyokong penghasilan penulis sehingga tak melulu bergantung pada
royalti. Pemerintah kita memang belum peduli dengan nasib penulis.
Selama regulasinya tidak propenulis, sulit untuk menjadikan penulis di
Indonesia ini masuk kategori sejahtera.
Seberapa besar pengaruh dimensi transendental dalam karya yang Anda lahirkan?
Buat saya, menulis ya amal jariah. Saya ingin karya saya ini
bermanfaat meski saya sudah tidak ada. Maka itu, saya berupaya
semaksimal mungkin untuk menulis yang punya manfaat. Dengan latar
belakang Paris, saya bisa saja menulis novel yang sarat percintaan. Tapi
buat saya itu tidak terlalu punya manfaat. Yang justru saya lakukan
ialah menulis yang bisa mendatangkan manfaat untuk komunitas muslim atau
muslimah di Paris. Apalagi kita tahu, Prancis bukanlah negara yang
ramah untuk kaum muslim. Perempuan berhijab di Prancis sulit mendapatkan
pekerjaan di sektor publik. Bahkan siswi di sana saja sulit untuk
memakai jilbab. Dari fenomena ini, saya kemudian menulis soal suami dan
anak. Saya ingin, tanpa narasi yang menggurui, karya saya punya dampak
buat pembaca.
Pesan Anda untuk penulis muda?
Harus berani. Saat kita tidak berani menulis, keberanian itu tak
bakal muncul. Maka, menulislah. Berani mengirim ke media. Berani
memublikasikan di ranah publik. Berani pula menawarkan naskah kepada
penerbit. Kalau sudah ada keberanian, kita akan terlatih dan terbiasa
sehingga makin piawai. Dengan berani itu pula kita bisa menjaga
konsistensi dalam menulis. Kuncinya, berani
BIODATA
Nama : Rosita Sihombing
Kelahiran : Bandar Lampung, 24 Januari 1974
Pendidikan : Jurusan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Lampung
Suami : Patrick Monlouis
Anak : Ilhan Monlouis
Nama : Rosita Sihombing
Kelahiran : Bandar Lampung, 24 Januari 1974
Pendidikan : Jurusan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Lampung
Suami : Patrick Monlouis
Anak : Ilhan Monlouis
Pengalaman kerja:
- Wartawan Surat Kabar Mingguan Dayu Ekspres (1998-1999)
- Wartawan Tabloid Rektorat Universitas Lampung (1998-2001)
- Surat Kabar Umum Sumatera Post (1999-2003).
- Wartawan Surat Kabar Mingguan Dayu Ekspres (1998-1999)
- Wartawan Tabloid Rektorat Universitas Lampung (1998-2001)
- Surat Kabar Umum Sumatera Post (1999-2003).
Karya:
1. Luka di Champs Elysées (2008).
2 Catatan Cinta dari Negeri Eiffel (2009).
3. One gigabyte of Love (2008)
4. Persembahan Cinta (2008)
5. Long Distance Love (2009)
6. Jodoh dari Negeri Seberang (2009)
7. Happy Ramadan with Kids (2010)
8. Duhai Muslimah Bersyukurlah (2010)
9. Jilbab Traveler (2012).
1. Luka di Champs Elysées (2008).
2 Catatan Cinta dari Negeri Eiffel (2009).
3. One gigabyte of Love (2008)
4. Persembahan Cinta (2008)
5. Long Distance Love (2009)
6. Jodoh dari Negeri Seberang (2009)
7. Happy Ramadan with Kids (2010)
8. Duhai Muslimah Bersyukurlah (2010)
9. Jilbab Traveler (2012).
Wawancara, Lampung Post,
Post a Comment