Masa Depan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah
-- Abdul Wahab
Bagaimana Kondisi Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah Saat ini?
Untuk memperoleh potret kondisi bahasa, sastra, dan aksara daerah, idealnya dilakukan penelitian etnografis, terutama pada bahasa-bahasa daerah yang jumlah penuturnya besar dan memiliki sistem tulisan sendiri. Oleh karena penelitian semacam itu makan waktu yang lama dengan biaya yang sangat tinggi, apa yang saya bentangkan di sini adalah hasil kajian kepustakaan, terutama hasil kongres bahasa daerah (bahasa Bali dan bahasa Jawa), dan hasil wawancara saya dengan mahasiswa program S2 dan S3 yang penutur asli bahasa Bali, Jawa, Bugis, Makasar, Bima, Lampung, dan Batak (yaitu bahasa-bahasa daerah yang mempunyai sistem tulisan sendiri.)
Bagaimana Kondisi Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah Saat ini?
Untuk memperoleh potret kondisi bahasa, sastra, dan aksara daerah, idealnya dilakukan penelitian etnografis, terutama pada bahasa-bahasa daerah yang jumlah penuturnya besar dan memiliki sistem tulisan sendiri. Oleh karena penelitian semacam itu makan waktu yang lama dengan biaya yang sangat tinggi, apa yang saya bentangkan di sini adalah hasil kajian kepustakaan, terutama hasil kongres bahasa daerah (bahasa Bali dan bahasa Jawa), dan hasil wawancara saya dengan mahasiswa program S2 dan S3 yang penutur asli bahasa Bali, Jawa, Bugis, Makasar, Bima, Lampung, dan Batak (yaitu bahasa-bahasa daerah yang mempunyai sistem tulisan sendiri.)
Sebenarnya, kondisi bahasa, sastra, dan aksara daerah
saat ini sudah berkali-kali dibentangkan, disedihkan, ditangiskan, dan
dijeritkan oleh para pemeduli bahasa daerah dalam kongres-kongres bahasa
daerah antara lain Kongres Bahasa Bali, mulai kongres yang pertama
sampai kongres yang kelima dan Kongres Bahasa Jawa dari kongres pertama
sampai dengan kongres yang ketiga.
Seandainya bahasa-bahasa
Nusantara lainnya dengan jumlah penutur yang besar, seperti bahasa
Dayak, bahasa Batak, bahasa Bugis, dan lain-lainnya, juga mengadakan
kongres bahasa daerah semacam Kongres Bahasa Bali dan Kongres Bahasa
Jawa, potret yang akan disajikan tentang kondisinya akan senada, yaitu
potret yang suram.
Pada Kongres III Bahasa Bali, misalnya, terasa
adanya jati diri orang Bali yang mulai (atau sudah?) goyah, sehingga
diperlukan peningkatan pembinaan dan pengembangan bahasa Bali yang
merupakan cerminan jati diri orang Bali itu. Pernyataan ini saya buat
atas dasar tema yang diambil oleh penyelenggara kongres yang ke lima dua
tahun silam. Goyahnya jati diri orang Bali dan budayanya itu tercermin
dalam menurunnya kualitas sikap, pengetahuan, dan ketrampilan berbahasa
Bali di kalangan penuturnya, di dalam dan luar keluarga.
Orang
Bali menyadari bahwa bahasa Bali mempunyai fungsi yang sangat penting
antara lain (1) sebagai lambang kebanggaan daerah dan masyarakat Bali,
(2) sebagai lambang identitas daerah dan masyarakat Bali, (3) sebagai
alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat Bali, (4) sebagai
pendukung sastra daerah Bali dan sastra Indonesia, dan (5) sebagai
sarana pendukung budaya daerah dan budaya nasional Indonesia. Sayang
dalam kehidupan sehari-sehari, sikap, pengetahuan, dan ketrampilan
menggunakan bahasa Bali Alus (analog dengan Krama Inggil dalam bahasa
Jawa), terutama di Bali Utara, menurun. Stratifikasi bahasa ini jarang
(tak dipakai lagi?) bila seseorang berbicara dengan orang dari kasta
yang lebih tinggi.
Sebagai gambaran tentang menurunnya penggunaan
stratifikasi ini, orang Bali dari generasi yang berusia 30 tahun ke
atas masih mampu secara aktif menggunakanya. Orang Bali dari generasi
yang berusia antara 20 dan 30 tahun sudah mulai kurang aktif, sedang
orang Bali dari generasi yang berusia kurang dari 20 tahun sudah tidak
peduli lagi. Keadaan di Bali Selatan masih lebih baik. Ada beberapa
alasan mengapa kondisi semacam itu bisa terjadi pada orang-orang Bali
Utara. Alasan pertama yang paling ditonjolkan ialah adanya
demokratisasi. Karena itu ada keyakinan pada sementara orang Bali Utara
bahwa kehidupan kekastaan digeser oleh adanya perbedaan warna. Tidak
jarang orang Bali dari kasta yang lebih tinggi mempunyai status ekonomi,
jabatan, dan pendidikan yang lebih rendah dari orang yang berkasta
lebih rendah. Alasan kedua ialah adanya keyakinan secara historis bahwa
Bali Utara itu tempat pengasingan atau pengucilan sebagai hukuman bagi
orang-orang Bali Selatan yang vocal atau menentang sikap, kebijakan, dan
perilaku raja-raja yang ada di Bali Selatan. Alasan ketiga ialah
banyaknya pendatang dari luar Bali yang kemudian bermukim di Bali Utara,
sehingga orang Bali yang ingin mengadakan komunikasi dengan para
pendatang ini menggunakan bahasa Indonesia atau ragam bahasa Bali yang
tidak halus.
Bagaimana keadaan sastra Bali? Sastra daerah Bali
merupakan bukti historis masyarakat Bali. Sehubungan dengan itu, sastra
daerah Bali sebagai salah satu bagian dari kebudayaan Bali berkedudukan
sebagai wahana ekspresi budaya, yang di dalamnya terekam pengalaman
estetika, religi, social, politik, dan aspek-aspek lainnya dalam
kehidupan masyarakat Bali. Pengalaman hidup orang Bali dengan segala
macam aspeknya itu unik dan memikat budaya lain, sehingga ada sebagian
cerita Bali yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain ke
dalam bahasa Inggris, seperti “Mati Salah Pati” oleh Gde Aryantha
Soethama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh dua orang
penutur asli bahasa Inggris; penerjemah yang pertama ialah Vern Cork
dengan pengalihan judul menjadi “Death by Misfortune” dan penerjemah
kedua ialah Jennifer Lindsay dengan perubahan judul menjadi “The Wrong
Kind of Death.” Cerita pendek “Luh Galuh” oleh Putu Oka Sukanta juga
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh dua orang penutur asli bahasa
Inggris, yaitu Vern Cork dan oleh Mary Zurbuchen tanpa adanya perubahan
judul, karena cerita pendek itu memaparkan pengalaman hidup gadis Bali
yang bernama Luh Galuh. Satu lagi cerita pendek yang diterjemahkan
kedalam bahasa Inggris oleh penutur asli bahasa ini ialah “Mega Hitam di
atas Pulau Kahyangan” yang ditulis oleh Putu Oka Sukanta oleh Vern Cork
dengan perubahan judul dalam bahasa Inggris “Storm Clouds over the
Island of Paradise.”
Melihat sikap orang asing yang sangat
positif terhadap sastra Bali, sehingga karya sastra Bali diterjemahkan
kedalam bahasanya, dengan tujuan supaya pengalaman hidup orang Bali yang
sangat unik itu melengkapi aspek kehidupan yang tak mereka dapatkan
dalam budayanya, saya berpendapat bahwa sastra Bali itu memiliki nilai
humanisme universal.
Bagaimana kondisi aksara Bali dewasa ini?
Bangsa yang memiliki aksara sendiri sebenarnya mencerminkan adanya
budaya baca tulis, keinginan untuk mendokumentasikan segala bentuk
kehidupan agar dapat diketahui, dipelajari, dan dinikmati oleh orang
lain inter-generasi maupun antar-generasi tanpa batas ruang dan waktu.
Itulah sebabnya, Kongres Bahasa Bali ke V menyimpulkan bahwa aksara Bali
memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan budaya
masyarakat Bali. Melihat fungsinya, aksara Bali digunakan dalam
“nyastra”, seni, pendidikan, adat, dan agama Hindu. Dalam kehidupan
sehari-hari, Juru Arah di Bali misalnya, menyampaikan wewarahnya dalam
bahasa Bali yang masih tertulis dalam huruf Bali. Karena itu, upaya
pelestarian dilakukan melalui jalur formal dan jalur nonformal. Lewat
jalur formal, secara umum aksara Bali diajarkan mulai tingkat sekolah
dasar sampai kelas dua SMU dan secara khusus, aksara Bali diajarkan
sampai tingkat perguruan tinggi bagi mahasiswa yang mengambil jurusan
yang terkait dengan budaya dan sastra Bali. Lewat jalur non-formal upaya
pelestarian aksara Bali dilakukan dengan pemberian fungsi aksara itu
seperti penggunaannya oleh Juru Arah tersebut di atas. Sayang pada
kalangan generasi muda Bali yang sekarang ini berusia 20 tahun ke bawah,
penguasaan aksara Bali secara receptive apalagi secara produktif ada
kecenderungan memudar.
Bagaimana halnya dengan kondisi bahasa,
sastra, dan aksara daerah lainnya seperti Batak, Bugis, Bima, dan
Lampung? Perkembangan bahasa, sastra, dan aksara daerah pada
daerah-daerah ini memiliki nasib yang sama seperti yang terjadi pada
daerah Bali. Pada bahasa Bali, seperti halnya dengan yang terjadi pada
bahasa Jawa, stratifikasi dan ekspresi kehalusan masih terdapat pada
leksikon dan kaidah sintaksis. Akan tetapi, pada bahasa-bahasa yang saya
sebut terakhir di atas ini, stratifikasi bahasa dan ekspresi kesantunan
sudah tinggal dalam ekspresi paralinguistik saja. Saya percaya bahwa
pada jaman dulu bahasa-bahasa ini memiliki stratifikasi bahasa dan
ekspresi kesantunan yang tidak hanya tercermin dalam paralinguistik,
melainkan pada leksikon dan wujud sintaksis sebagaimana yang terdapat
pada ciri bahasa-bahasa Nusantara. Hilangnya leksikon dan wujud
sintaksis pada bahasa-bahasa ini merupakan suatu kealpaan yang besar,
karena sikap tidak-peduli kita terhadap bahasa-bahasa daerah.
Seperti
halnya yang terjadi pada bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia,
pemakaian bahasa daerah yang saya sebut pada paragraf di atas ini
terdesak oleh pemakaian bahasa Indonesia. Di antara orang dewasa Batak,
Bugis, Makasar, Lampung, dan Bima misalnya frekuensi penggunaan bahasa
Indonesia lebih tinggi dari penggunaan bahasa daerahnya, untuk urusan
formal maupun non-formal. Sebagai ilustrasi, jika dalam keluarga
terdapat ayah yang berpenutur asli bahasa Bugis dan ibu yang berpenutur
asli bahasa Makasar, komunikasi antara suami istri lebih banyak
menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah, yaitu bahasa Bugis
atau bahasa Makasar. Komunikasi antara orang tua dan anak pun selalu
menggunakan bahasa Indonesia, meski dalam keluarga dari suku yang sama.
Pada bahasa-bahasa yang saya bahas pada paragraf di atas, penggunaan
bahasa daerah dilakukan oleh generasi usia 40 tahun keatas. Berbeda
dengan yang terjadi di Bali dan di Jawa, pada daerah-daerah yang saya
sebut belakangan itu tak terdapat media cetak dalam bahasa daerah.
Sastra
pada daerah-daerah ini, terutama sastra modern tertulis dalam bahasa
Indonesia dengan setting Indonesia. Khas daerah sukar ditemui. Sastra
kuno seperti “Nenek Malomo” ditulis dalam bahasa Bugis dengan aksara
Bugis pada rontal. Pelestarian sastra semacam ini justru terdapat di
desa. Semakin masuk ke jantung kota, minat terhadap sastra daerah oleh
penutur aslinya semakin berkurang (atau tidak ada.) Upaya pelestarian
sastra dan kesenian daerah masih terbatas pada penelitian yang terbatas
pula pada kegiatan pendataan saja, belum sampai kepada pemberian fungsi.
Kehidupan
aksara Batak, Bugis, Lampung, dan Bima tidak sebaik kehidupan aksara
Bali. Kini hanya sebagian generasi yang berusia 40 tahun keatas saja
yang mampu mengenali aksara daerah. Itu pun terbatas pada tingkatan
recognitif, bukan pada tingkatan produktif. Pada kalangan generasi usia
20 tahun ke bawah, aksara daerah itu mereka anggap sebagai hiasan museum
belaka.
Nasib aksara Bima tidak hanya memprihatinkan, tetapi
sudah tinggal kenangan, sebab aksara yang pernah berfungsi dalam
kehidupan sehari-hari, dalam urusan administrasi pemerintahan dan
representasi karya sastra itu kini sudah musnah seperti musnahnya burung
dodo di planet bumi ini. Menurut ingatan orang Bima, tradisi menulis
Bo’ [buku] dengan bahasa dan aksara Bima dimulai oleh perdana menteri
Tureli Nggampo Makapiri Solo, setelah mempelajari sistem administrasi
kerajaan Goa dan Luwu’. Karena alasan pengembangan agama Islam di Bima,
pada tanggal 15 Muharam 1005 (13 Maret 1645), Sultan Abi’l Khair
Sirajuddin memerintahkan agar Bo’ selanjutnya ditulis di atas kerta
[bukan di atas rontal] dengan menggunakan bahasa Melayu [bukan bahasa
Bima] dengan rupa tulisan yang diridlai oleh Allah [yang dimaksud aksara
Arab] (Chambert-Loir dan Salahuddin, 1999: xii).
Bahasa Jawa
adalah bahasa dengan jumlah penutur yang paling besar di Indonesia dan
masih ditambah lagi dengan mereka yang tinggal di belahan bumi yang lain
seperti di Afrika Selatan dan Suriname. Bagaimana kondisi bahasa,
sastra, dan aksara Jawa sekarang? Kondisi bahasa Jawa dewasa ini
sebenarnya telah saya bentangkan dua kali dalam dua kongres kebahasaan
yang bertaraf internasional. Yang pertama saya bentangkan pada Kongres
Bahasa Jawa ke III di Yogyakarta pada bulan Juli 2001 melalui makalah
saya yang berjudul “Dampak Kealpaan Penutur Bahasa Jawa Terhadap
Perilaku Bangsa”, dan yang kedua saya bentangkan pada Kongres Linguistik
Nasional Masyarakat Linguistik Indonesia di Denpasar, Bali pada bulan
Juli 2002, dengan judul “Kealpaan Terhadap Penghormatan dan Pemeliharaan
Bahasa Daerah Pengemban Kebudayaan Nasional.”
Pada Kongres
Bahasa Jawa yang ke III itu saya katakan bahwa bahasa Jawa sekarang ini
telah mengalami penurunan secara kualitas maupun kuantitas. Secara
kualitas, stratifikasi bahasa Jawa yang ada—krama inggil, krama andhap,
krama lugu, ngoko ndhap, dan ngoko lugu—yang sudah tertata secara rapi
an indah itu tidak dipergunakan sebagaimana mestinya dalam bebahasa oleh
sebagian besar penutur asli bahasa Jawa. Kesalahan pemilihan leksikon,
sintaksis, dan semantis dalam bertutur kata sering terjadi pada kalangan
penutur bahasa Jawa. Secara kuantitas, penggunaan bahasa Jawa krama
inggil dan karma andhap frekuensinya sangat kecil, dalam kalangan
keluarga dan masyarakat untuk urusan formal maupun non-formal, terutama
pada kalangan generasi muda. Bahkan pada kalangan Keraton (yang
diharapkan merupakan pusat tempat mempertahankan dan melestarikan
kualitas dan kuantitas bahasa Jawa), interaksi sehari-hari dengan
menggunakan bahasa Jawa frekuensinya tidak setinggi frekuensi interaksi
sehari-hari dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam penelitiannya,
Dr. Pranowo (1998: x) mengungkapkan kenyataan sebagai berikut.
Kemampuan
berdwibahasa [bahasa Jawa dan bahasa Indonesia] kerabat keraton tidak
jauh berbeda dengan masyarakat di luar keraton. Kemampuan mereka dalam
berbahasa Indonesia lebih baik daripada kemampuan berbahasa Jawa. Faktor
penyebabnya antara lain pengaruh modernisasi yang tidak mungkin
dihindari, anggapan bahwa penggunaan bahasa Indonesia lebih praktis
daripada bahasa Jawa, keyakinan bahwa kemampuan bahasa Jawa kurang
memiliki nilai ekonomis, dan lain-lain. Kenyataan seperti ini
memperjelas bahwa peranan keraton Kesultanan Yogyakarta [dalam hal
pemeliharaan budaya dan bahasa Jawa] sudah bergeser. Zaman dahulu,
keraton berperan sebagai pusat bahasa dan budaya [Jawa], … sekarang
tidak [lagi] demikian.
Saya amati, kehalusan bertutur kata yang
tercermin dalam stratifikasi bahasa Jawa sudah mengalami erosi berat.
Anak-anak muda tidak lagi mau dan mampu berbahasa krama dengan orang
tuanya dan dengan orang lain yang lebih tua sebagai wujud adanya rasa
hormat (yang mestinya etikanya begitu). Dari 87 orang mahasiswa saya
yang berasal dari etnis Jawa, program S1 bahasa Inggris yang mengambil
matakuliah binaan saya, tak seorang pun berbahasa krama dengan orang
tuanya. Dalam simulasi berbahasa krama yang baik dan benar, tak seorang
pun mampu melakukannya. Paling tidak ini yang terjadi di Malang dan
sekitarnya. (Mudah-mudahan di daerah Jawa lainnya keadaan semacam di
Malang itu masih lebih baik.) Pada kalangan anak-anak muda, sulit bagi
kita mengharapkan sapaan yang didahului dengan ujaran “Nuwun sewu …”,
atau “Kepareng …” , dan lainnya yang semacam yang digunakan sesuai
dengan fungsinya.
Menurunnya kualitas bahasa Jawa bagi penutur
aslinya tercermin dalam banyak makalah yang disajikan pada Kongres
Bahasa Jawa III itu. H. Budiono Herusatoto, sarjana filasafat
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, misalnya, menulis tentang terjadinya
rancu pikir di kalangan penutur asli bahasa Jawa dalam memahami makna
tata karma dan unggah-ungguh. Menurut Herusatoto, ada tiga sebab yang
menjadikan rancu pikir itu: (a) dalam mengartikan dan memahami makna
kata unggah-ungguh dan tata karma, kebanyakan penutur asli bahasa Jawa
menggunakan ‘nalar dan rasa bahasa Indonesia’ [bukan nalar dan rasa
kebahasaan dari perspektif bahasa dan budaya Jawa), (b) buku pegangan
pokok atau kamus yang dijadikan sebagai sumber untuk memahami arti kedua
istilah itu adalah kamus dalam bahasa Indonesia, [yang tidak dapat
menyentuh rasa dalam perspektif bahasa dan budaya Jawa], dan (c) penulis
dan peneliti yang non-Jawa tidak mau melihat dari pandangan perspektif
budaya dan bahasa Jawa, melainkan memandangnya dari perspektif budaya
dan bahasanya sendiri.
Terhadap menurunnya kualitas bahasa Jawa
ini, I Wayan Bawa dari Fakultas Sastra Universitas Udayana, juga
menuturkan dalam Kongres Bahasa Jawa III bahwa telah terjadi pengausan
kemampuan menggunakan undha-usuk bahasa Jawa bagi etnik Jawa yang
bermukim di Denpasar, Bali. Pada forum yang sama, Kisyani Laksono, dari
Universitas Negeri Surabaya, dalam kajiannya tentang identifikasi dialek
dan sub-dialek bahasa Jawa di Jawa Timur bagian timur dan Blambangan,
menunjukkan bahwa pemilihan kosa kata ragam ngoko dan krama mengalami
kekacauan.
Yang menarik perhatian ialah hasil pengamatan
Christian Gossweiler, doctor teologi dari Universitas Negeri Tübingen,
Jerman. Menurut Grossweiler, situasi bahasa Jawa dan bahasa daerah di
Indonesia mengalami nasib yang sama dengan dialek-dialek dan
bahasa-bahasa daerah di Eropa; secara khusus, bahasa Jawa mengalami
nasib yang sama dengan bahasa Retorumantsch. Menurunnya kualitas
bahasa-bahasa daerah itu disebabkan oleh adanya upaya memupuk rasa
nasionalisme dengan menggunakan bahasa nasional, dan mengalpakan
bahasa-bahasa daerah. Menurutnya, [yang rasanya juga berlaku di
Indonesia] industrialisasi dan factor-faktor lain mendukung upaya itu.
Apalagi dalam era globalisasi ini ada pelbagai perkembangan yang
mencampurkan dan menyeragamkan bahasa dan budaya di seluruh dunia. Dalam
bidang bahasa, bahasa Inggris dianggap sebagai satu-satunya bahasa
internasional yang semakin banyak digunakan di seluruh dunia.
Selain
faktor di atas khusus mengenai situasi bahasa daerah di Indonesia,
Gossweiler melihat ada lagi faktor lain yang mempengaruhi menurunnya
kualitas bahasa-bahasa daerah khususnya di Jawa, yaitu (1) orang tua
mempunyai anggapan bahwa pendidikan dwi-bahasa menjadi penghalang proses
pendidikan anak, (2) tidak ada lembaga bahasa daerah yang aktif
menanggulangi masalah menurunnya bahasa daerah, (3) program penerbitan
buku dan kursus-kursus bahasa daerah sulit didapat, (4) belum ada usaha
menyesuaikan bahasa daerah dengan kebutuhan modern, (5) tidak ada upaya
para sesepuh yang mendorong pemakaian bahasa daerah, meski penggunaan
bahasa daerah itu jelek sekali pun, (6) belum ada upaya memupuk budaya
multi-bahasa yang memberi kebebasan bahkan peranan bahasa-bahasa daerah,
dan (7) belum tampak adanya jaringan kerja dan koordinasi di antara
sesama forum peduli perkembangan bahasa daerah.
Bagaimana kondisi
sastra Jawa dewasa ini? Meskipun penghormatan dan pemeliharaan bahasa
Jawa hanya terbatas pada pencantuman gagasan dalam undang-undang dasar
pasal 36 dan aturan tambahannya, sastra Jawa berkembang terus dari jaman
ke jaman. Pada jaman bahasa Jawa kuna (periode sebelum jatuhnya
kerajaan Majapahit), ada beberapa karya sastra yang terkenal, antara
lain, Arjunawijaya, Arjunawiwaha, Bharatayuda, Mahabharata, Nagara
Kertagama, Nitisastra, dan Sutasoma. Pada Abad Pertengahan, karya sastra
yang terkenal antara lain Calon Arang, Dewa Ruci, Pararaton, Sri
Tanjung, dan Tantri Kamandaka. Pada Jaman Baru, sastra Jawa dapat dibagi
menjadi dua—sastra tradisional dan sastra modern. Karya sastra Jawa
tradisional dapat dibaca pada Serat Ambiya, Serat Arjuna Sasrabau, Serat
Bratayuda, Serat Centhini, Serat Menak, Serat Nitipraja, Serat Pustaka
Raja, Serat Rama, Serat Sabda Jati, Serat Sastra Gendhing, Serat Surya
Raja, Serat Wedhatama, dan Serat Wulangreh. Kreativitas menciptakan
karya sastra modern oleh penutur asli bahasa Jawa terus berlangsung
hingga sekarang, meski tidak ditulis dalam aksara Jawa. Hasil ciptaan
dalam karya sastra itu antara lain Anteping Tekad, Candhikala Kapuranta,
Dokter Wulandari, Dongeng Sato Kewan, Hera-Heru, Jarot, Kemandang,
Kidung Wengi ing Gunung Gamping, Kinanthi, Kirti Njunjung Drajad, Kreteg
Emas Jurang Gupit, Layang Saka Paran, Mendhung Kesaput Angin, Nalika
Langite Obah, Ngulandara, Pupus kang Pepes, Sinta, Serat Durcara Arya,
Serat Rangsang Tuban, Serat Riyanta, Serat Gerilya Sala, Siter Gadhing,
Sri Kuning, Sumpahmu Sumpahku, Timbreng, Trem, dan belum termasuk karya
sastra dengan seting Jawa yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Karya
sastra yang sebut di atas itu berbentuk prosa. Puisi (dalam bahasa) Jawa
yang pernah dimuat pada berbagai media cetak antara tahun 1940 dan
tahun 1980, dikumpulkan oleh Suripan Sadi Hutomo (almarhum) dalam satu
antologi, yaitu Antologi Puisi Jawa Modern 1940-1980.
Selama
manusia hidup, ia tidak akan berhenti memiliki pengalaman-pengalaman
yang mengesankan. Sastra, pada hemat saya, merupakan jelmaan pengalaman
itu dalam bahasa yang terpilih, dalam bahasa yang secara sadar atau
tidak oleh penulisnya dinyatakan atas dasar prinsip-prinsip estetika.
Itulah sebabnya, betapa pun jelek atmosfir yang melingkunginya,
sastrawan tidak akan berhenti berkreasi. Saya kira, begitulah yang
terjadi pada para sastrawan Jawa, Bali, Makasar, Bugis, Batak, Lampung,
Sunda, dan lain-lainnya di tanah air ini.
Bagaimana halnya dengan
aksara Jawa saat ini. Meskipun penutur asli bahasa Jawa merupakan
penutur yang jumlahnya paling besar dibanding dengan penutur-penutur
bahasa daerah lainnya di Nusantara, nasib aksara Jawa lebih buruk dari
nasib aksara Bali. Aksara Jawa sekarang ini kedudukannya sebagai
pengetahuan saja yang diajarkan kepada siswa sekolah dasar mulai kelas
tiga sampai dengan kelas lima. Pengajaran aksara Jawa sekarang tidak
sampai menjadi ketrampilan karena tidak difungsikan sebagai representasi
ortografis bahasa Jawa. Oleh karena itu, matapelajaran bahasa Jawa
termasuk pengetahuan menuliskan aksara Jawa tidak akan dapat menempati
kedudukan sebagai kebutuhan hidup orang Jawa, melainkan dianggap sebagai
siksaan oleh para siswa, karena mereka beranggapan bahwa pengajaran
pengetahuan menulis aksara Jawa itu hanya menambah beban pekerjaan
mereka saja.
Meskipun Belanda didakwa sebagai biang keladi
menurunnya derajad bahasa, sastra, dan aksara Jawa (dalam Riyadi, 2002:
5), pemerintah Belanda sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia
masih menghormati dan memelihara aksara Jawa dengan memberikan fungsi
pada urusan-urusan resmi misalnya dalam peringatan akan bahasa listrik
dan pecahan mata uang, sebagaimana pada terdapat lampiran makalah ini.
Pada mata uang logam mulai ketheng, sen, benggol, kelip, kethip, dan
seterusnya, terdapat tiga macam aksara—aksara Jawa, Arab, dan Latin.
Sekarang, setelah bangsa sendiri merdeka, aksara Jawa itu tak dipakai
dalam mata uang. Begitu pula untuk keperluan lain, aksara daerah
(kecuali aksara Bali) tak difungsikan lagi.
Generasi Jawa di
bawah umur 50 tahun tahu akan huruf Jawa, tetapi tidak dapat membaca
dengan lancar, apalagi menulisnya sebagai alat melahirkan cipta, rasa,
karsa, dan karyanya, baik yang menyangkut urusan formal, maupun yang
menyangkut urusan informal dalam kehidupan sehari-hari.
Manfaat Apa yang Diharapkan Apabila Kita Mempertahankan dan Mengembangkan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah?
Pertanyaan
ini sebenarnya mempunyai ikutan atau pelibatan makna bahwa sudah ada
keraguan terhadap nilai budaya sendiri, sebagai akibat ketidak-mampuan
kita menghormati dan memelihara budaya daerah. Pemahaman budaya suatu
bangsa dapat dilakukan secara mendalam jika pemahaman itu dilakukan atas
dasar perspektif budaya bangsa itu sendiri, bukan dari perspektif
budaya asing. Demikian pula halnya dengan pemahaman budaya, bahasa,
sastra, dan aksara daerah. Pemahaman budaya, bahasa, sastra, dan aksara
daerah dapat dicapai kedalamannya, apabila kita mampu melihatnya dari
perspektif budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah itu sendiri.
Dengan
mengingat definisi budaya sebagai “pola keyakinan, sikap, dan perilaku
yang dipelajari oleh suatu bangsa yang kemudian diwariskan kepada
generasi berikutnya,” saya percaya bahwa keyakinan, sikap, dan perilaku
suatu etnis selalu dinyatakan dalam bahasa daerah yang dipergunakan
dalam interaksi antar anggota etnis itu. Banyak ungkapan yang
mencerminkan keyakinan, sikap, dan perilaku suku-suku bangsa kita ini
yang tak dapat dinyatakan dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing. Di
samping itu, hasil pengalaman hidup dan pemikiran yang sudah berlangsung
berabad-abad, misalnya dalam hal seni dan budaya dengan segala
aspeknya, seperti model pakaian, masakan, obat-obatan, keperluan rias,
dan lain-lain hanya dapat diungkap dan dipahami secara sempurna dalam
bahasa daerah yang ada di Nusantara ini.
Dalam masalah sastra
juga banyak terdapat ungkapan yang hanya bisa dinyatakan dalam bahasa
daerah untuk mempertahankan keindahan dan makna yang dikandungnya. Tidak
heran jika kita mendapatkan pemakaian bahasa daerah dalam ranah sastra
Indonesia, karena pengarang lebih “sreg” menggunakan bahasa daerah
daripada menggunakan bahasa Indonesia. Pengarang novel atau serita
pendek yang berasal dari Batak, Bali, Lampung, Makasar, Bugis, Jawa dan
lain-lainnya yang ada di Nusantara ini tak dapat lepas dari penggunaan
bahasa daerah masing-masing, karena dengan menggunakan ungkapan bahasa
daerah itu pengarang tetap dapat menyampaikan maksud yang dikehendaki
tanpa mengorbankan aspek keindahannya.
Bahasa-bahasa daerah yang
ada di Nusantara ini tidak lebih rendah dari bahasa-bahasa yang ada di
dunia termasuk bahasa-bahasa yang ada di Asia, seperti bahasa Arab,
bahasa Thai, bahasa Tamil, bahasa Mandarin, bahasa Jepang, bahasa Korea
dan lain-lainnya. Bahasa-bahasa ini tetap dipertahankan oleh masyarakat
penutur-aslinya, karena eksistensi bangsa ini tidak dapat dilepaskan
dari bahasanya. Bahasa-bahasa di atas ini dipelajari oleh bangsa lain
bukan karena kemampuan komunikasi bahasa itu dalam ilmu pengetahuan,
teknologi, budaya, dan interaksi umat manusia lebih tinggi dari
bahasa-bahasa daerah kita. Bahasa-bahasa itu menjadi begitu bergengsi
karena kualitas manusia dengan etos kerja yang tinggi menjadikan
bangsa-bangsa itu menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya yang
lebih kreatif. Bukan karena bahasanya. Bahasa merupakan representasi
untuk mengungkapkan segala sesuatu yang mereka capai itu. Biar bangsa
lain mempelajari bahasa-bahasa Jepang, Cina, Korea, Inggris, dan
lain-lain, karena memang hasil keras mereka yang berupa ilmu
pengetahuan, teknologi, dan budaya itu memang dibutuhkan oleh bangsa
lain termasuk oleh bangsa Indonesia.
Seandainya bangsa-bangsa
yang saya sebutkan itu tidak memiliki presatasi ilmu pengetahuan,
teknologi, dan budaya yang tinggi, bahasa mereka tidak akan dipelajari
oleh bangsa-bangsa lain di dunia, karena tidak ada yang bisa diharapkan
dari mereka. Itu seandainya begitu. Sebaliknya, seandainya suku-suku
bangsa kita yang beraneka ragam ini juga memiliki prestasi ilmu
pengetahuan, teknologi, dan budaya yang tinggi dan dinyatakan dalam
bahasa dengan aksara daerah masing-masing, bangsa lain akan lebih
memperhatikan bahasa-bahasa daerah yang kita miliki. Jangan karena
kualitas bangsa dengan etos kerja dan disiplin yang rendah sehingga
prestasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budayanya rendah, lalu
menganggap bahwa bahasa, sastra, dan aksara daerah dialpakan begitu
saja. Prestasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya sudah miskin, mau
mengalpakan budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah yang dimiliki.
Lalu kita punya apa yang bisa dipakai tanda bahwa kita ini eksis di
dunia ini?
Khusus tentang aksara daerah. Budaya yang sudah
memiliki system tulisan sendiri menandakan bahwa budaya itu memiliki
derajad yang tinggi, sebab dalam budaya itu segala pola pikiran,
keyakinan, dan perilaku pemiliknya terekam untuk dipelajari dan kemudian
diwariskan kepada generasi berikutnya, tanpa batas ruang dan waktu.
Berapa jumlah bangsa dan bahasa yang ada di dunia ini tak terhitung
banyaknya. Tetapi berapa budaya yang memiliki system tulisan sendiri
perkiraan saya tidak lebih dari lima persen. Perkiraan ini saya dasarkan
atas banyaknya bahasa yang ada di Indonesia. Ada tidak kurang dari lima
ratus bahasa, tetapi bahasa yang memiliki sistem tulisan sendiri tidak
ada lima persen dari seluruh bahasa yang ada di Nusantara ini.
Di
samping itu, menciptakan simbol, sebagai suatu sistem tulisan, yang
dapat menyatakan semua aspek cipta, rasa, karsa, dan karya suatu bangsa
dengan budaya dan bahasanya tidak mudah. Lima kali, sepuluh kali, atau
berapa kali pun kongres bahasa ini belum tentu dapat merumuskan
simbol-simbol sebagai suatu sistem tulisan yang dapat diterima oleh
suatu budaya untuk merekam semua pola pikiran, keyakinan, dan perilaku
dan dipelajari serta diwariskan kepada generasi mendatang tanpa batas
ruang dan waktu.
Demikianlah halnya dengan sistem tulisan daerah
yang ada dalam budaya Nusantara ini, seperti aksara Batak, Bali, Bugis,
Jawa, Lampung, dan Bima. Saya percaya banyak dokumentasi pola pikiran,
keyakinan, dan perilaku budaya-budaya daerah ini yang tak ternilai
harganya yang direkam dengan sistem tulisan daerah-daerah itu, baik yang
masih ada di museum-museum di tanah air maupun yang ada di
museum-museum manca negara, terutama yang ada di Eropa dan Amerika
seperti yang pernah saya lihat di Smithsonian Institution di Washington
D. C.
Jika nanti sistem tulisan daerah ini lenyap dari bumi
Nusantara, maka generasi yang sangat bertanggung-jawab atas lenyapnya
aksara daerah ini ialah generasi yang sekarang ini, terutama
individu-individu yang secara formal diberi tanggung-jawab untuk
menghormati dan memelihara aksara daerah itu. Saya katakan generasi yang
sekarang, sebab sekarang ini masih ada individu-individu yang mampu
menguasai aksara daerah itu untuk tujuan-tujuan rekognitif dan
produktif, tetapi kita tidak memberikan atmosfir yang menunjang
penghormatan dan pemeliharaan aksara daerah tersebut. Kita tidak mau
mempelajari aksara daerah itu kemudian menurunkan kepada generasi
berikutnya, pada hal, jika ada niatan, kita masih belum kematian dian.
Atas dasar pemikiran di atas saya meneriakkan suara pecinta dan pemeduli
hidupnya aksara daerah agar aksara-aksara daerah itu tetap dipelihara
dan dihormati, bukan dibiarkan mati tak terurus.
Bagaimanakah Kita Memelihara Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah?
Sebelum
melakukan tindakan penghormatan, penyelamatan, dan pemeliharaan bahasa,
sastra, dan aksara daerah, yang utama ialah adanya kemauan untuk
menghormati, menyelamatkan, dan memelihara bahasa, sastra, dan aksara
daerah itu sendiri. Adanya kemauan yang keras akan memberi semangat
untuk mencari cara. Sebenarnya untuk menghormati dan memelihara bahasa
dan sastra daerah, Kongres Bahasa Bali dan Kongres Bahasa Jawa selalu
merumuskan butir-butir tindakan, mulai dari rumusan perda, keterlibatan
pemerintah daerah, sampai dengan langkah-langkah kongkrit yang harus
dilaksanakan. Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali, misalnya,
telah mengeluarkan Buku Pembinaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Bali, atas
dasar Peraturan Daerah Nomor 3/1992, yang secara khusus diperkuat oleh
Edaran Gubernur Nomor 1/1995, tentang Penulisan Papan Nama dengan Dwi
Aksara Bali.
Dengan mengambil analogi yang terdapat pada Kongres
Bahasa Bali dan Kongres Bahasa Jawa, penyelamatan, pemeliharaan, dan
penghormatan bahasa-bahasa daerah, terlebih dahulu pemilik dan penutur
asli bahasa daerah itu sendiri perlu dibuat sadar bahwa daerah itu
berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah dan masyarakat
penuturnya, (2) lambang identitas daerah dan masyarakat penuturnya, (3)
alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat, (4) pendukung sastra
daerah dan sastra Indonesia, dan (5) sarana pendukung daerah dan budaya
Indonesia.
Apabila pemilik dan penutur asli bahasa daerah sadar
bahwa begitu besar dan pentingnya fungsi bahasa daerah, perlu diupayakan
peningkatan mutu pemakaian bahasa daerah, mencakup upaya meningkatkan
sikap, pengetahuan, dan ketrampilan berbahasa daerah melalui jalur
formal—pendidikan dan pengajaran di sekolah dan jalur informal--dengan
memfungsikan bahasa daerah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Pembinaan
sastra daerah juga perlu didahului dengan penanaman kesadaran kepada
seluruh rakyat Indonesia dan pemilik sasrta daerah bahwa sastra daerah
merupakan bukti historis masyarakat daerah. Sehubungan dengan itu,
sastra daerah sebagai salah satu bagian dari sastra Indonesia
berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya Indonesia, yang di dalamnya
terekam pengalaman etika, estetika, moral, agama, dan social masyarakat
daerah. Dalam kedudukannya sebagai wahana ekspresi budaya, sastra daerah
memiliki fungsi sebagai perekam kebudayaan daerah dan pemelihara,
pemupuk, dan penumbuh solidaritas daerah.
Apabila kesadaran akan
begitu besar dan pentingnya sastra daerah telah timbul, pembinaan yang
perlu dilakukan ialah meningkatkan mutu apresiasi sastra daerah. Upaya
peningkatan ini bisa dilakukan lewat pendidikan, pengajaran,
pemasyarakatan, dan pemberdayaan sastra daerah. Secara kongkrit, (1)
adakan pendidikan dan pengajaran sastra daerah tersendiri sebagai
matapelajaran dalam kurukulum, bukan merupakan bagian kecil dari
pendidikan dan pengajaran bahasa daerah, (2) adakan guru-guru satra
daerah yang bermutu, (3) adakan atmosfir yang bermutu untuk mendukung
penciptaan karya sastra yang bermutu pula, (4) manfaatkan tokoh-tokoh
sastra daerah yang masih kreatif dan produktif, (5) berikan penghargaan
yang wajar kepada sastrawan daerah, dan adakan penerjemahan karya sastra
yang memiliki nilai universal.
Singkatnya, pengembangan sastra
daerah adalah upaya untuk meningkatkan mutu sastra daerah agar sastra
daerah itu dapat dimanfaatkan sebagai media ekspresi pencarian dan
pencerminan jati diri dalam membangun masyarakat daerah yang merupakan
bagian dari masyarakat Indonesia. Kegiatan pengembangan meliputi
penelitian dan penulisan-penulisan.
Aksara daerah memiliki
kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan budaya daerah. Melihat
fungsinya, aksara daerah telah dan dapat digunakan lagi dalam kehidupan
bersastra, berseni, pendidikan, adapt, agama, serta komunikasi tulis
sehari-hari. Dengan lain perkataan, aksara daerah itu dapat diberi
kedudukan yang tinggi seperti yang terdapat pada mata uang logam jaman
Belanda berikut ini.
Anehnya, kita ini ada dalam jaman
kemerdekaan. Tetapi justru pada alam kemerdekaan ini sendiri, bahasa,
sastra, dan aksara daerah tidak kita pelihara, tidak kita hormati,
apalagi kita junjung tinggi seperti pada jaman penjajahan. Sebenarnya,
jika kita mau, bahasa dan penulisan aksara daerah dapat saja dicantumkan
pada mata uang resmi Indonesia. Masih banyak ruang pada mata uang kita
itu yang dapat memuat bahasa dan aksara daerah kita. Perhatikan betapa
banyaknya ruang pada mata uang kertas kita seandainya kita mau memberi
muatan bahasa dan aksara daerah.
Saya kira, tidak hanya pada mata
uang saja, aksara daerah itu bisa kita beri kedudukan yang terhormat.
Pada petunjuk-petunjuk produk Indonesia pun, bisa saja kita muati bahasa
dan aksara daerah sebagaimana para produsen Cina, Jepang, Korea,
Thailand, dan lain-lain, yang dengan bangganya mencantumkan bahasa dan
aksara mereka masing-masing pada petunjuk pemakaian produknya.
Mungkin
ada yang berfikiran begini. Jika bahasa dan aksara daerah itu kita
cantumkan pada mata uang, tidakkah akan menimbulkan rasa iri hati dan
sentiment kedaerahan? Untuk menangkis kecurigaan semacam itu, kita
memunculkan bahasa dan aksara daerah pada mata uang secara seri. Mata
uang tertentu dengan bahasa dan aksara Bali, bahasa dan aksara Batak,
bahasa dan aksara Bugis, bahasa dan aksara Jawa, dan lain sebagaimana
yang sudah kita lihat pada mata uang kita dengan seri gambar-gambar
pahlawan nasional, seni tari dan lain sebagainya yang berasal dari
daerah.
Untuk menutup makalah saya ini ada dua hal yang ingin
saya tekankan. Saya melihat semua kegiatan semacam kongres ini dari dua
segi: segi ergon dan segi energiae. Dari segi ergon, kita sadar bahwa
Kongres Bahasa Indonesia ini akan merumuskan hasil kongres untuk
dideseminasikan ke lembaga-lembaga pemerintah dan disosialisasikan
kepada masyarakat ramai. Tetapi itu saja tidak cukup. Kita juga harus
memperhatikan segi energiae-nya, yaitu adanya dinamika untuk menindak
lanjuti hasil kongres ini dengan perbuatan nyata. Oleh karena pembinaan
dan pengembangan budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah itu
diserahkan kepada Pemerintah Daerah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999, Pemerintah daerah bertanggung-jawab melaksanakan undang-undang itu
dengan segala konsekuensinya, sedangkan pemerintah pusat mengatur
perekatan budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah menjadi budaya
nasional Indonesia.-
Bacaan:
Bandana,
I Gde Wayan Soken. 2003. “Sekilas Tentang Fungsi dan Asal-Usul Aksara
Bali.” Dalam Aksara, Jurnal Bahasa dan Sastra No. 21, Tahun XIII, 2003.
Denpasar: Balai Bahasa Denpasar.
Bawa, I Wayan. 2001. “Pengausan
Kemampuan Menggunakan Undha-Usuk Bahasa Jawa Bagi Etnik Jawa Setelah
Satu Tahun Tinggal di Denpasar.” Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta,
Juli 2001.
Brata, Suparto. 2002. “Mata Pelajaran Muatan Lokal
Bahasa Jawa dalam Kaca Mata Pengarang.” Seminar Regional Pengajaran
Bahasa dan Sastra Jawa di Balai Bahasa Surabaya, September 2002.
Chambert-Loir,
Henri dan Siti Maryam R. Salahuddin. 1999. Bo’ Sangaji (Catatan
Kerajaan Bima). Jakarta: Ecole Francais d’Extreme-Orient Yayasan Obor
Indonesia.
Gossweiler, Christian. 2001. “Jenggelekipun Basa-Basa
Daerah Wonten Tengahing Globalisasi: Refleksi Pengalaman ing Eropa lan
ing Indonesia.” Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta, Juli 2001.
Herusatoto,
Budiono. 2001. “Rancu Pikir dalam Memahami Makna Kata Tata-Tata Krama
dan Undha-Usuk.” Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta, Juli 2001.
Laksono,
Kisyani. 2001. “Identifikasi Dialek dan Sub-Dialek Bahasa Jawa di Jawa
Timur Bagian Utara dan Blambangan. Kongres Bahasa Jawa III di
Yogyakarta, Juli 2001.
Riadi, Slamet. 2002. “Kebijakan Bahasa dan
Sastra Jawa.” Seminar Regional Pengajaran Bahasa dan Sastra Jawa di
Balai Bahasa Surabaya, September 2002.
Wahab, Abdul. 2001.
“Dampak Kealpaan Penutur Bahasa Jawa Terhadap Perilaku Bangsa.” Kongres
Bahasa Jawa III di Yogyakarta, Juli 2001.
Wahab, Abdul. 2002.
“Kealpaan Terhadap Penghormatan dan Pemeliharaan Bahasa Daerah Pengemban
Kebudayaan Nasional.” Kongres Masyarakat Linguistik Indonesia di
Denpasar-Bali, Juli 2002.
Widati, Sri. 2002. “Kontribusi Hasil
Penelitian Terhadap Pengajaran Bahasa dan Sastra Jawa.” Seminar Regional
Pengajaran Bahasa dan Sastra Jawa di Balai Bahasa Surabaya, September
2002.
-----, 1966. Pembinaan Bahasa Aksara dan Sastra Bali (Pedoman Penulisan papan nama dengan Aksara Bali).Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
-----, 2001. Makalah Kongres Bahasa Jawa III.
-----,
2002. Kumpulan Makalah Kongres Bahasa Bali V. Denpasar: Kerja Sama
Pemerintah Propinsi Bali, Badan Pembinaan Bahasa Aksara dan Sastra Bali,
Fakultas Sastra Unud, dan Balai Bahasa Denpasar.
Post a Comment